The world oil deal outside and incorporated in the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) extended the production cut-off period until 2018 pushed up oil prices. After a few days off ahead of a meeting of 24 oil producing countries at OPEC headquarters in Vienna, Austria, last week, oil prices rebounded partially.
US West Texas Intermediate benchmark crude oil rose 1.82% to USD49.79 a barrel. Meanwhile, Brent oil prices closed at USD 52.15 per barrel, up 1.34% from before.
Saudi energy minister Khaled al-Falih after the 24-nation meeting of oil producers in Vienna said they had considered a number of extension scenarios, ranging from six, nine, to 12 months. Even considered also the possibility of increasing the production of oil cuts.
"All indications are solid that the extension to nine months is the optimum. The move will result in an average amount of reserves in the last five years at the end of this year, "Palih said.
Late last year OPEC and 11 other countries, including Russia, agreed to cut output to 1.8 million barrels per day. The aim of the deal was to reduce the world's excess oil reserves, which caused oil prices to drop drastically from about USD100 per barrel in 2014 to only USD25 per barrel in early 2016.
Thanks to the move, since last December the price of Brent crude oil that became a global reference has gradually recovered to the number USD60 per barrel although it also several times dropped below USD50 per barrel. The deal should end on 30 June. With the latest deal last week, the production cuts policy was officially extended until March 31, 2018.
Earlier OPEC's strategy was to flood the market with oil to press its rivals, shale oil oil producers in the US. The policy has caused victims of the bankruptcy of a number of oil companies in the Land of Super Power.
However, now with rising prices, many of the US companies previously bankrupt are expected to return to the market and take revenge. However, the prospect, as well as the possibility of increasing global reserves from Libya and Nigeria's production, Falih confessed, was not worried.
"Shale oil is an important variable, but we are not sure it will significantly influence what we do," he said. Iranian Oil Minister Bijan Zanganeh said the current target is to keep oil prices at USD55-60 a barrel. The price is good for both conventional oil producers and shale oil producers.
Regardless, the world oil market expects global oil producers to not only extend the period of production cuts; But also increase the amount of production being trimmed. Alexandre Andlauer of Alpha value equity research firm called the OPEC strategy obsolete.
IN INDONESIAN
Pemangkasan Berlanjut, Harga MinyakTerus Naik
Kesepakatan produsen minyak dunia di luar serta yang tergabung dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperpanjang periode pemangkasan produksi hingga 2018 mendorong harga minyak terus naik. Setelah sempat turun beberapa hari menjelang pertemuan 24 negara produsen minyak di markas besar OPEC di Wina, Austria, pekan lalu, harga minyak rebound secara parsial.
Harga minyak mentah acuan Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate naik 1,82% menjadi USD49,79 per barel. Sementara harga minyak Brent ditutup di level USD 52,15 per barel, naik 1,34% dari sebelumnya.
Menteri Energi Arab Saudi Khaled al-Falih pasca pertemuan 24 negara produsen minyak di Wina mengatakan, mereka telah mempertimbangkan sejumlah skenario perpanjangan pemangkasan, mulai dari enam, sembilan, hingga 12 bulan. Bahkan dipertimbangkan pula soal kemungkinan untuk menambah pemangkasan produksi minyak.
”Semua indikasinya solid bahwa perpanjangan hingga sembilan bulan adalah yang optimum. Langkah itu akan menghasilkan jumlah cadangan rata-rata dalam lima tahun terakhir di penghujung tahun ini,” kata Palih seperti dikutip AFP.
Akhir tahun lalu OPEC dan 11 negara lain, termasuk Rusia, sepakat memangkas produksi hingga 1,8 juta barel per hari. Tujuan dari kesepakatan itu untuk menurunkan cadangan minyak dunia yang jumlahnya berlebih sehingga menyebabkan harga minyak turun drastis dari sekitar USD100 per barel pada 2014 menjadi hanya USD25 per barel pada awal 2016.
Berkat dari langkah tersebut, sejak Desember lalu harga minyak mentah jenis Brent yang menjadi acuan secara global telah berangsur pulih ke angka USD60 per barel meski sempat pula beberapa kali turun di bawah USD50 per barel. Kesepakatan itu seharusnya berakhir pada 30 Juni mendatang. Dengan kesepakatan terakhir pada pekan lalu, kebijakan pemangkasan produksi tersebut resmi diperpanjang hingga 31 Maret 2018.
Sebelumnya strategi OPEC adalah membanjiri pasar dengan minyak untuk menekan saingannya, para produsen minyak shale oil di AS. Kebijakan itu telah menimbulkan korban berupa bangkrutnya sejumlah perusahaan minyak di Negeri Adi Daya tersebut. Namun, kini dengan kenaikan harga yang terjadi, banyak dari perusahaan-perusahaan AS yang sebelumnya bangkrut diperkirakan akan kembali ke pasar dan membalas dendam. Namun, prospek tersebut, juga kemungkinan bertambah cadangan global dari produksi Libya dan Nigeria, Falih mengaku, tidak mencemaskan.
"Shale oil adalah variabel yang penting, tapi kami tidak yakin itu akan dapat memengaruhi secara signifikan apa yang kami lakukan," tegas dia. Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh mengatakan, target saat ini untuk menjaga harga minyak di level USD55-60 per barel. Harga tersebut baik bagi para produsen minyak konvensional maupun produsen shale oil.
Terlepas dari itu, pasar minyak dunia berharap para produsen minyak global tersebut tidak hanya memperpanjang periode pemangkasan produksi; namun juga meningkatkan jumlah produksi yang dipangkas. Alexandre Andlauer dari perusahaan riset ekuitas Alpha value menyebut strategi OPEC tersebut ketinggalan zaman.
Koran Sindo, Page-8, Monday, May 29, 2017
No comments:
Post a Comment