google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 National Banking Needs More Contribution - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Wikipedia

Search results

Friday, September 29, 2017

National Banking Needs More Contribution



The contribution of the national banking to the financing of the oil and gas sector in the country is considered not optimal. At least that assessment of Deputy Minister of Energy and Human Resources (ESDM) Arcandra Tahar. According to him, the national banking has not maximally assumed a big risk in supporting the development of oil and gas field in Indonesia. In fact, oil well drilling process requires a lot of money.

"One well just to find the oil is US $ 250 million. Then we need four wells, if US $ 250 million multiplied by four, US $ 1 billion. That is equivalent to Rp 13 trillion and not necessarily the result. There is no Indonesian banking that would approximate drilling in the deep water? "Asked Arcandra on one occasion in Sumbawa, West Nusa Tenggara, on Monday (25/9). Conditions that become one of the challenges that need to find a way out.

"These risks in the development of natural resources. Need big funds, need technology and need human resources (HR) is qualified, "he added.

Under these conditions, it is not surprising that investment or funding coming from overseas is still very much needed. Today, the Indonesian nation should be more open in insight, do not make nationalism narrow to not use funding, technology, or human resources from outside which in fact Indonesia has not been able to fulfill it all.

"For the time being we should not feel that the nationalism we develop is narrow. We should think about how we can advance as much as we can. What do we do to develop our Natural Resources according to mandate of Article 33 (UUD 1945) for the utmost benefit for the people of Indonesia, "he asserted.

According to him, in managing oil and gas resources in Indonesia, contractors still need technology, funding, and human resources from overseas. Of course, oil and gas management is expected to be maximal and will have a positive effect on energy security in Indonesia

"However, in reality in terms of human resources, technology, and funding, we are still far away. We still need funding from foreigners, "concluded Arcandra.

Royke Tumilaar, Director of Wholesale Banking at Bank Mandiri, said that in general, the mining sector's performance is very good because most of the risk of mining commodity price volatility has been hedged 'so that the flow of funds is relatively stable. However, he admitted that domestic banks have not been able to meet the needs of the mining industry as a whole, "It is because the investment mine is very large," he said Wednesday (27/9)

Vain

On the other hand, the investment climate of Indonesia's oil and gas sector, especially the upstream sector, is still criticized by investors. PT Chevron Pacific Indonesia, one of the contractors of the cooperation contract (KKKS), admitted that only wasted time had to take care of the bureaucracy in investing upstream oil and gas sector in Indonesia.

Senior Vice President of Policy, Government and Public Affairs (PGPA) Chevron Pacific Indonesia Yanto Sianipar said there is still a lot of bureaucracy and inter-ministerial cooperation that is quite disturbing the course of investment. According to him, a lot of time must be spent by contractors to take care of things that do not have a direct impact on production activities.

"How much time we spend just to fix the problems that are not unnecessary, but do not have an impact on direct production," Yanto said during the 72nd Anniversary of Mining and Energy event at JW Marriott Hotel, Jakarta.

He said, in managing a working area, KKKS contracted with the government. Supposedly, the government coordinates with the regions and areas of licensing to facilitate it, however, the reality is just the opposite.

"Our time is up for it. Earlier I also talked about how we should spend time to deal with a tremendous audit, which many findings are irrational, unfounded, "he explained. In addition, which incriminates the KKKS, Yanto added, KKKS also faced with several legal cases, auction cases and people's demands. The cases have nothing to do with production activities.

"Everything makes our time runs out for things that are not directly related to production," he snapped.

Even so, the Ministry of Energy and Mineral Resources has actually been working on improving the investment climate of the oil and gas sector by cutting the number of permits. Of the 42 permissions that had existed, it is now smaller to only 6. Of the six types of licenses remaining, 2 licenses in upstream oil and gas sector and 4 permits downstream of oil and gas. In upstream oil and gas, there is only permit of survey and permit of utilization of oil and gas data.

Furthermore, the ministry is also accelerating the scheme of oil and gas permit management via online channels and is targeted to be operational by the end of this year. With the online system, permissions can be completed in 4-5 days instead of 10-15 days. This year, the government is targeting oil and gas sector investment of US $ 23 billion (around Rp 309 trillion), rising above 130% compared to the target of investment in 2016 which amounted to US $ 9.8 billion.

IN INDONESIA

Perbankan Nasional Perlu Lebih Berkontribusi


Kontribusi perbankan nasional terhadap pembiayaan sektor migas di Tanah Air dianggap belum optimal. Paling tidak itu penilaian Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Arcandra Tahar. Menurutnya, perbankan nasional belum maksimal menanggung risiko besar dalam mendukung pengembangan Iapangan migas di Indonesia. Padahal, proses pengeboran sumur minyak memerlukan biaya yang tidak sedikit.

“Satu sumur hanya untuk mencari minyak itu US$ 250 juta. Kemudian kita butuh empat sumur, kalau US$ 250 juta dikali empat, US$ 1 miliar. Itu setara Rp 13 triliun dan belum tentu dapat hasil. Ada tidak perbankan Indonesia yang kira-kira mau drilling di deep water?” tanya Arcandra pada suatu kesempatan di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Senin (25/9). Kondisi itu menjadi salah satu tantangan yang perlu dicarikan jalan keluar. 

“Ini risiko-risiko dalam pengembangan sumber daya alam. Butuh dana besar, butuh teknologi dan butuh sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni,” imbuh dia.

Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan apabila investasi atau pendanaan yang berasal dari Iuar negeri masih amat diperlukan. Sekarang ini, bangsa Indonesia harus lebih terbuka secara wawasan, jangan menjadikan nasionalisme hal yang sempit untuk tidak menggunakan pendanaan, teknologi, atau Sumber daya manusia dari luar yang kenyataannya Indonesia belum bisa memenuhi itu semua.

“Untuk sementara waktu jangan kita merasa bahwa nasionalisme yang kita kembangkan itu sempit. Sudah selayaknya kita berpikir bagaimana kita memajukan sebisa mungkin. Apa yang kita perbuat untuk mengembangkan Sumber daya alam kita sesuai dengan amanat Pasal 33 (UUD 1945) untuk kebermanfaatan sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia,” tegas dia.

Menurutnya, dalam mengelola sumber daya migas di Indonesia, kontraktor masih sangat memerlukan teknologi, pendanaan, dan sumber daya manusia dari Iuar negeri. Tentu diharapkan, pengelolaan migas bisa maksimal dan nantinya memberi efek positif bagi ketahanan energi di Indonesia

“Namun, kenyataannya dari segi sumber daya manusia, teknologi, dan pendanaan, kita masih jauh. Kita masih membutuhkan
pendanaan dari asing,” pungkas Arcandra. 

Direktur Wholesale Banking Bank Mandiri Royke Tumilaar mengatakan, secara umum kinerja kredit sektor pertambangan sangat baik karena sebagian besar risiko volatilitas harga komoditas tambang sudah di-hedging' sehingga aliran dana relatif stabil. Namun, ia mengakui, perbankan dalam negeri memang belum bisa memenuhi kebutuhan industri pertambangan secara keseluruhan,”Itu karena tambang investasinya sangatlah besar,” katanya Rabu (27/9)

Sia-sia

Di sisi lain, iklim investasi sektor migas Indonesia, khususnya sektor hulu, masih mendapat kritisi dari investor. PT Chevron Pacific Indonesia, salah satu kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), mengakui hanya waktu yang terbuang sia-sia lantaran harus mengurusi birokrasi dalam melakukan investasi sektor hulu migas di Indonesia.

Senior Vice President Policy, Government and Public Affairs (PGPA) Chevron Pasific Indonesia Yanto Sianipar mengatakan masih banyak birokrasi dan kerja sama antar kementerian yang cukup mengganggu jalannya investasi. Menurutnya, banyak waktu mesti dihabiskan para kontraktor untuk membereskan hal-hal yang tidak memberikan dampak langsung pada kegiatan produksi tersebut. 

“Berapa banyak waktu kita habis hanya untuk membereskan masalah - masalah yang bukan tidak perlu, tapi tidak memberikan dampak pada produksi langsung,” kata Yanto dalam acara Hari Jadi Ke-72 Pertambangan dan Energi, di Hotel JW Marriott, Jakarta.

Ia menuturkan, dalam mengelola suatu wilayah kerja, KKKS berkontrak dengan pemerintah. Seharusnya, pemerintah berkoordinasi dengan daerah dan bidang perizinan untuk memudahkannya, Namun, realitas yang ada justru sebaliknya.

“Waktu kita habis untuk itu. Tadi saya juga bicara soal bagaimana kita harus spend waktu untuk menghadapi audit yang luar biasa, yang banyak temuannya yang tidak rasional, tidak berdasar,” jelas dia. Selain itu, yang memberatkan para KKKS, Yanto menambahkan, KKKS juga dihadapkan dengan beberapa kasus hukum, kasus lelang dan tuntutan rakyat. Kasus-kasus itu tidak ada hubungannya dengan aktivitas produksi. 

“Semuanya membuat waktu kita habis untuk hal yang tidak berkaitan langsung dengan produksi,” sergahnya. 

Meski Demikian, Kementerian ESDM sebenarnya telah mengupayakan perbaikan iklim investasi sektor migas melalui pemangkasan jumlah izin. Dari 42 perizinan yang sempat ada, kini mengecil menjadi hanya 6 saja. Dari 6 jenis perizinan yang tersisa itu, 2 perizinan di sektor hulu migas dan 4 perizinan di hilir migas. Di hulu migas, hanya ada izin survei dan izin pemanfaatan data migas. 

Lebih lanjut, kementerian itu pun seang mempercepat skama pengurusan izin migas via kanal daring (online) dan ditargetkan bisa beroperasi akhir tahun ini. Dengan sistem online, izin bisa diselesaikan dalam 4-5 hari, bukan lagi 10-15 hari. Tahun ini, pemerintah menargetkan investasi sektor migas US$ 23 miliar (sekitar Rp 309 triliun), naik di atas 130% jika dibandingkan dengan target investasi pada 2016 yang sebesar US$ 9,8 miliar.

Media Indonesia, Page-D, Thursday, Sept 28, 2017

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel