Indonesia pernah menjadi negara produsen minyak yang cukup besar di dunia. Pada periode 1975-1995, produksi minyak Indonesia di atas 1 juta barel per hari. Bahkan, pernah menyentuh angka 1,6 juta barel per hari. Sebagaimana data yang dikeluarkan BP Statistical Review of World Energy 2015, dengan tingkat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri pada 1975-1985 yang di bawah 500 ribu barel per hari, Indonesia pun masuk ke dalam barisan negara surplus BBM.
Namun, seiring pertumbuhan ekonomi nasional, konsumsi BBM pun terus meningkat, Tingkat konsumsi pada 2004 sudah melonjak menjadi 1 juta barel per hari. Sementara, produksinya terus menurun. Saat ini, kondisinya berbalik dengan tingkat konsumsi mencapai 1,5 juta barel per hari, sedangkan produksi minyak berada di kisaran angka 800 ribu barel per hari. Konsumsi BBM yang tidak sebanding dengan ketersediaannya menempatkan Indonesia dalam kondisi krisis energi.
Ancaman krisis energi yang dihadapi Indonesia saat ini merupakan imbas tidak adanya penemuan cadangan minyak dan gas bumi baru. Karena itu, eksplorasi memegang peran kunci untuk meningkatkan cadangan migas nasional agar permasalahan krisis energi bisa dihindari dan Indonesia mampu mandiri dalam penyediaan energi. Fungsi strategis eksplorasi dalam menjaga dan meningkatkan cadangan migas sangat disadari oleh pemerintah maupun para pelaku di industri hulu migas.
Pemerintah pun berupaya mendorong kegiatan eksplorasi dengan menyiapkan paket insentif fiskal untuk kegiatan eksplorasi hulu migas dan menyediakan pelayanan terpadu satu pintu untuk pengurusan perizinan. Pemerintah juga mendorong agar kegiatan eksplorasi migas tidak hanya dipusatkan di kawasan Indonesia bagian barat. Saat ini, 91 persen kegiatan ekspIorasi berada di Indonesia barat. Untuk itu, kegiatan eksplorasi perlu didorong ke wilayah Indonesia timur.
Berbagai upaya tersebut diharapkan bisa mendongkrak jumlah eksplorasi di hulu migas yang saat ini masih rendah. Sayangnya, turunnya harga minyak dunia turut berpengaruh terhadap penurunan nilai investasi untuk kegiatan eksplorasi. Rendahnya jumlah eksplorasi juga disebabkan adanya perusahaan migas yang tidak merealisasikan komitmen eksplorasi meski sudah memenangi Ielang wilayah kerja (WK). Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis BBM ini adalah dengan mendorong substitusi BBM ke gas. Substitusi BBM ke gas ini sudah sepatutnya segera dilakukan dan dipercepat pelaksanaannya.
Menurut BP Statistical Review of World Energy 2015, saat ini Indonesia adalah produsen gas terbesar ke 10 di dunia dengan rata-rata produksi sebesar 73,4 miliar meter kubik per tahun. Adapun konsumsi gas Indonesia masuk ke urutan ke 25 di dunia dengan rata-rata konsumsi sebesar 38,4 miliar meter kubik per tahun. Indonesia juga disebut memiliki cadangan gas alam terbesar ketiga di wilayah Asia Pasifik (setelah Australia dan Cina), berkontribusi untuk 1,5 persen dari total cadangan gas dunia.
Dengan produksi minyak nasional tak Iagi mencukupi kebutuhan dalam negeri, dan cadangannya pun juga tidak banyak Iagi, Sementara gas masih banyak, maka sudah sewajarnya kebijakan energi didorong untuk mengurangi konsumsi minyak dan menggantinya dengan energi alternatif salah satunya gas. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengatakan, dengan populasi penduduk dan kebutuhan terhadap migas yang terus meningkat, eksplorasi memang harus gencar dilakukan.
Apalagi, Dewan Energi Nasional (DEN) menyebutkan pada 2025 kebutuhan migas Indonesia mencapai 3,5 juta barel setara minyak. Lalu, bagaimana upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut? "Kalau kita ingin meningkatkan produksi berarti kita harus mempunyai cadangan. Untuk mendapatkan cadangan, eksplorasi harus segera dilakukan. Eksplorasi artinya kita mengundang investor dari dalam maupun dari luar negeri kata Amien.
Dia melanjutkan, dilihat dari sumber daya, Indonesia masih banyak memiliki wilayah yang belum diteliti kandungan sumber migasnya. Artinya, banyak daerah yang belum diketahui apakah di situ ada isinya atau tidak. "Karena itu harus ada eksplorasi," kata Amien. Sayangnya, menurut Amien, hulu migas untuk petroleum competitiveness belum begitu baik. Berdasarkan penelitian lembaga survei Global Petroleum Survey dari Frazer Institute pada 2015, disebutkan oahwa hal yang menjadikan investor tak tertarik investasi migas di Indonesia adalah regulasi dan inkonsistensi.
Bagi investor, kedua hal itu bisa dipahami. Investor tetap didera kekhawatiran kendati sudah menandatangani kontrak. Alasannya, kerap kali regulasi kontrak tersebut tidak konsisten dalam pelaksanaannya. Hal senada juga diungkapkan Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere. Menurut Christina, salah satu kendala besar yang dihadapi para pelaku industri hulu migas adalah adanya regulasi yang tidak pasti dan fiskal yang tidak kompetitif.
Panjangnya mata rantai birokrasi, anjloknya harga minyak dunia dan rentang waktu yang Iama dalam memproduksi juga menjadi tantangan sendiri," kata Christina. Oleh sebab itu, ia berharap agar ada reformasi birokrasi dan regulasi dalam pengelolaan minyak dan gas di masa mendatang. ”Reformasi birokrasi tidak hanya di pemerintah pusat tetapi juga di daerah, katanya sembari menambahkan agar ada regulasi tentang insentif. Peneliti dari Wood Mackenzie Herman Huang, dalam makalahnya tentang /ndonesias Upstream Oil and Gas : Current Global Comparative Overview, mengamini bahwa turunnya produksi minyak di Tanah Air lebih disebabkan oleh kurangnya investasi, karena iklim yang kurang kompetitif.
IN ENGLISH
Fuel substitution should be Accelerated
Indonesia was the country considerable oil producer in the world. In the period 1975-1995, Indonesia's oil production above 1 million barrels per day. In fact, never touch the figure of 1.6 million barrels per day. As the data released BP Statistical Review of World Energy 2015, with the level of consumption of fuel oil (BBM) in the country in 1975-1985 were below the 500 thousand barrels per day, Indonesia went into the ranks of the state surplus fuel.
However, as the national economic growth, fuel consumption continues to rise, consumption levels in 2004 had jumped to 1 million barrels per day. Meanwhile, production continues to decline. Currently, the condition is turned to the level of consumption reached 1.5 million barrels per day, while oil production is in the range of 800 thousand barrels per day. Fuel consumption is not comparable with the availability to put Indonesia in a state of energy crisis.
The threat of an energy crisis facing Indonesia today is a result not of the discovery of oil and gas reserves recently. Therefore, exploration played a key role to increase national oil reserves so that the problems can be avoided energy crisis and Indonesia were able to self-sufficient in energy supply. Strategic role in the exploration of oil and gas reserves to maintain and improve the highly recognized by government as well as the actors in the upstream oil and gas industry.
The government also seeks to encourage exploration activities by preparing a package of fiscal incentives for upstream oil and gas exploration activities and provide a one stop service for business licensing. The government also pushed for oil and gas exploration activities are not only concentrated in the western part of Indonesia. Currently, 91 percent ekspIorasi activity is in western Indonesia. To that end, the exploration activities need to be encouraged to eastern Indonesia.
Various efforts are expected to boost the number of upstream oil and gas exploration, which is still low. Unfortunately, the decline in world oil prices helped influence on impairment of investments for exploration activities. The low number of exploration is also due to oil and gas companies do not realize the exploration commitments despite having won Ielang working area (WK). One effort that can be done to address the fuel crisis is to encourage the substitution of fuel oil to gas. Fuel substitution to this gas has been duly immediate and accelerated implementation.
According to the BP Statistical Review of World Energy 2015, today Indonesia is the 10th largest gas producer in the world with an average production of 73.4 billion cubic meters per year. As for gas consumption Indonesia entered into the order to 25 in the world with an average consumption of 38.4 billion cubic meters per year. Indonesia is also called has the third largest natural gas reserves in the Asia Pacific region (after Australia and China), contributing to 1.5 percent of total world gas reserves.
With domestic oil production is not sufficient involvement in the country, and reserves was also not a lot of involvement, while gas is still a lot, it is only logical energy policy is driven to reduce oil consumption and alternative energy to replace it with one gas. Head of the Special Unit of the Upstream Oil and Gas (SKK Migas) Sunaryadi Amien said, with the population and the need for oil and gas continues to increase, the exploration had to be intensively conducted.
Moreover, the National Energy Council (DEN) mentioned in 2025, Indonesian oil and gas needs to reach 3.5 million barrels of oil equivalent. Then, how efforts to meet these needs? "If we want to increase production means we have to have a backup. To get back up, exploration should be done immediately. Exploration means we invite investors from within and outside the country said Amien.
He continued, views of resources, Indonesia still has many areas that have not studied the content of its oil and gas resources. That is, many areas are not yet known whether there are contents or not. "Therefore there should be explored," said Amien. Unfortunately, according to Amien, upstream oil and gas to petroleum competitiveness has not been so good. Based on the survey research institute Global Petroleum Survey of Frazer Institute in 2015, mentioned the readers what makes investors are not interested in oil and gas investment in Indonesia is that the regulation and inconsistencies.
For investors, two things can be understood. Investors remain plagued by concerns despite already signed a contract. The reason, the contract regulations often inconsistent in its implementation. It also expressed President of the Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere. According to Christina, one of the major obstacles facing the upstream oil and gas industry is the uncertain regulatory and fiscal uncompetitive.
The length of the chain of bureaucracy, the drop in oil prices and timescales Iama in producing also a challenge in itself, "says Christina. Therefore, he hoped that no reform of the bureaucracy and regulations in the management of oil and gas in the future." Bureaucratic reform is not only in central government but also in the area, he said, adding that there are regulations on incentives. Researchers from Wood Mackenzie Herman Huang, in his treatise on / ndonesias Upstream oil and Gas: Current Global Comparative Overview, agrees that the decline in oil production in the country is due by lack of investment, because the climate is less competitive.
Koran Sindo, Page-17, Friday, Dec,16,2016
No comments:
Post a Comment