Should RI Import Gas from Singapore?

Gas production in the next few years will be the belle of Indonesia, because when oil falls, gas will rise as some jumbo projects operate. Yet, the government wants to import gas.

Liquifed Natural Gas (LNG) and Singapore gas import plans are in the spotlight. How not, Indonesia is an archipelago country with abundant gas potential. The government wants to import LNG from Keppel Offshore & Marine with a very cheap price claim of US $ 3.8 per mmbtu.

The plan, LNG imports will be used to turn the power plant with a capacity of 500 Megawatts (MW). But regardless of the cheap price, this gas import does not even make sense. This is because gas production in the country is abundant.

See, gas lifting in 2017 reached 1.15 million barrels of oil per day (boepd), and gas lifting in 2018 set 1.2 million boepd. In fact, Upstream Oil and Gas Special Unit (SKK Migas) notes that in 2025 gas production can reach 60% of total national oil and gas production. It is derived from five major upstream oil and gas projects that are currently included in the national strategy project.

The five projects, including Jangkrik Field, Tiung Biru Jambangan Field, Tangguh Train III Project, Masela Block and Indonesia Deepwater Development (IDD) project. Executive Director of ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro considers, Indonesia does not need to import gas. Because, in fact during this Singapore is always imported gas from Indonesia.

"In fact, it is still importing gas from us (Indonesia). Why do we want to import from there ?, "he said

He said the gas price offered by Keppel Offshore & Marine is about US $ 3.8 per MMBTU - US $ 4 per MMBTU is only limited to the price of regasification and transportation only. Thus, he considers that when calculated on shipping costs and the cost of converting LNG to gas, the price will be the same as that offered by domestic gas producers.

In line with Komaidi Notonegoro, Energy Observer from Gadjah Mada University, Fahmi Radhi revealed, in the face of high domestic gas prices, the government seemed to have no solution other than import. In fact, the problem that caused the price of expensive gas is the limitations of pipeline infrastructure and the existence of a trading company that does not have gas pipeline infrastructure, just brokers, thus contributing to raising domestic gas prices.

Member of House of Representatives Commission VII Rofi Munawar also disagreed with this import plan. He considers that gas imports make the national gas development road map unclear. Therefore, he proposed a comprehensive national gas balance audit. With it is clearly illustrated projection of gas demand and domestic gas production capability. Rofi feels there is something strange if Indonesia imports LNG from Singapore, because they do not have gas fields.

"Singapore's bid on a price basis may be efficient to the point of delivery, but if it has been to the point of distribution can soar," said Rofi. On the other hand, Rofi noted that there is an upward trend in the production of ready-to-sell gas or lifting that should be utilized by the government to manage more efficient gas governance and governance.

"Not then in a hurry to take import step," he said.

Responding to this, Arcandra Tahar Deputy Minister of EMR said that all matters relating to imports should be careful. Because it is currently being evaluated including the price.

IN INDONESIA

Perlukah RI Impor Gas dari Singapura?

Produksi gas beberapa tahun ke depan akan menjadi primadona Indonesia, sebab tatkala minyak turun, gas akan naik karena beberapa proyek jumbo beroperasi. Namun aneh pemerintah malah mau impor gas.

Rencana impor gas alam cair atau Liquifed Natural Gas (LNG) dan Singapura menjadi sorotan. Bagaimana tidak, Indonesia merupakan negara kepulauan yang potensi gasnya melimpah. Pemerintah ingin mengimpor LNG dari Keppel Offshore & Marine dengan klaim harganya sangat murah yakni sebesar US$ 3,8 per mmbtu.

Rencananya, LNG impor tersebut akan dipakai untuk menghidupkan pembangkit listrik dengan kapasitas 500 Megawatt (MW). Namun terlepas dari harga yang murah, impor gas ini bahkan tidak masuk akal. Ini karena produksi gas di dalam negeri berlimpah. 

Lihat saja, lifting gas tahun 2017 mencapai 1,15 juta barrel oil per day (boepd), dan lifting gas pada 2018 ditetapkan 1,2 juta boepd. Bahkan, Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat pada-tahun 2025 produksi gas bisa mencapai 60% dari total produksi migas nasional. Itu didapat dari lima proyek besar hulu migas yang saat ini masuk dalam proyek strategi nasional.

Adapun lima proyek itu, di antaranya Lapangan Jangkrik, Lapangan Jambangan Tiung Biru, Proyek Tangguh Train III, Blok Masela dan proyek Indonesia Deepwater Development (IDD). Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menganggap, Indonesia tidak perlu mengimpor gas. Karena, nyatanya selama ini Singapura yang selalu impor gas dari Indonesia.

“Malah saat ini juga masih impor gas pipa dari kita (Indonesia). Mengapa kita mau impor dari sana?," katanya

Ia bilang, harga gas yang ditawarkan oleh Keppel Offshore & Marine sekitar US$ 3,8 per MMBTU - US$ 4 per MMBTU itu hanya sebatas harga regasifikasi dan transportasi saja. Maka, ia menganggap apabila dihitung dengan biaya pengapalan dan biaya konversi LNG ke gas, harganya akan sama dengan yang ditawarkan oleh produsen gas domestik.

Senada dengan Komaidi Notonegoro, Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmi Radhi mengungkapkan, dalam menghadapi mahalnya harga gas dalam negeri, pemerintah seakan tidak punya solusi lain selain impor. Padahal, masalah yang menyebabkan harga gas mahal adalah keterbatasan infrastruktur pipa dan adanya perusahaan trading yang tidak punya infrastruktur pipa gas alias hanya makelar, sehingga berkontribusi dalam menaikkan harga gas dalam negeri.

Anggota Komisi VII DPR RI Rofi Munawar juga tidak setuju dengan rencana impor ini. Ia menganggap impor gas membuat road map pengembangan gas nasional menjadi tidak jelas. Karena itu, ia mengusulkan agar dilakukan audit neraca gas nasional yang komprehensif. Dengan itu tergambar jelas proyeksi kebutuhan gas maupun kemampuan produksi gas domestik. Rofi merasa ada yang aneh jika Indonesia mengimpor LNG dari Singapura, karena mereka tidak punya ladang gas. 

"Tawaran Singapura secara harga mungkin efisien hingga ke titik serah, namun jika sudah ke titik distribusi bisa melonjak," ujar Rofi. Di sisi lain, Rofi mencermati ada tren kenaikan produksi gas siap jual atau lifting yang harusnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengatur tata kelola dan tata niaga gas yang lebih efisien.

"Bukan kemudian secara terburu-buru mengambil langkah impor," ujarnya.

Menanggapi ini, Arcandra Tahar Wakil Menteri ESDM mengatakan bahwa semua hal yang berkaitan dengan impor harus berhati-hati. Oleh karena saat ini sedang dievaluasi termasuk soal harganya.

Kontan, Page-18, Monday, August 28, 2017