google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 April 2017 -->

Saturday, April 22, 2017

Pertamina Buy LNG from ExxonMobil



The Government of Indonesia and the United States (US) signed a business deal. This time ExxonMobil, a US-based oil and gas company Pertaimina established a liquefied natural gas (LNG) sale business for 20 years.

Head of Communication, Public Information and Cooperation Ministry of Energy and Mineral Resources, Sujatmiko, explained that the import of LNG is due to an increase in gas demand for power plants, "So we anticipate the possibility of increasing domestic consumption," he said on Friday (21/4).

With increasing gas demand, gas supply both domestically and abroad will be needed. In order for gas needs to be met, PT Pertamina is very quick to find LNG supply at affordable prices.

Sujatmiko refused to mention LNG import price agreement between ExxonMobil and Pertamina. The reason this price is done purely by the mechanism of business to business. "Everything if we remember, the president's message to get affordable prices for the people, the source can be from within or outside," he said.

Pertamina has also signed a business deal to import LNG from another Uncle Sam company, Cheniere Corpus Christi. Starting in 2019, Cheniere will export LNG to Indonesia as much as 1.5 million tons per year over the next 20 years.

Besides Cheniere, Pertamina has signed a head of agreement (HOA) with Woodside. Under the agreement, Woodside will import LNG to Pertamina with a capacity of 500,000 tons per year.

Ministry of Energy and Mineral Resources has projected, domestic gas demand will increase from year to year along with the increasing of gas infrastructure development in Indonesia. So that in the next 2019 Indonesia will start importing LNG.

In addition to LNG import cooperation to Indonesia, RI-US also cooperate in electricity sector. One of them is Pacific Infra Capital, PT. Infra Cerdas Indonesia with PT Perusahaan Listrik Negara for the installation of smart metering in Java-Bali power grid.

PLN also signed a business partnership with PowerPhase to install TurboPhase booster system at PLTG. The technology is claimed to reduce fuel consumption, reduce emissions and increase electrical output.

IN INDONESIAN

Pertamina Beli LNG dari ExxonMobil


Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS) meneken kesepakatan bisnis. Kali ini ExxonMobil, perusahaan migas asal AS dan Pertaimina menjalin bisnis jual beli liquefied natural gas (LNG) selama 20 tahun.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM Sujatmiko menjelaskan, adanya impor LNG ini karena akan ada peningkatan kebutuhan gas untuk pembangkit Listrik, “Jadi, kita antisipasi kemungkinan peningkaian konsumsi di dalam negeri," ujarnya, Jumat (21/4).

Dengan kebutuhan gas yang meningkat, pasokan gas baik dari dalam negeri maupun luar negeri akan sangat dibutuhkan. Agar kebutuhan gas terpenuhi, PT Pertamina sangat cepat mencari pasokan LNG dengan harga terjangkau.

Sujatmiko tidak mau menyebut kesepakatan harga impor LNG antara ExxonMobil dengan Pertamina. Pasalnya kepakatan harga ini dilakukan murni dengan mekanisme business to business. "Semuanya kalau kita ingat, pesan presiden untuk mendapatkan harga affordable untuk rakyat, sumber bisa dari dalam atau luar," katanya.

Pertamina juga telah meneken kesepakatan bisnis untuk mengimpor LNG dari perusahaan Paman Sam lain, yaitu Cheniere Corpus Christi. Mulai tahun 2019 mendatang, Cheniere akan mengekspor LNG ke Indonesia sebanyak 1,5 juta ton per tahun selama 20 tahun ke depan.

Selain Cheniere, Pertamina tercatat telah menandatangani head of agreement (HOA) dengan Woodside. Dalam kesepakatan tersebut, Woodside akan mengimpor LNG ke Pertamina berkapasitas 500.000 ton per tahun. 

Kementerian ESDM telah memproyeksi, kebutuhan gas domestik akan semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya pembangunan infrastruktur gas di Indonesia. Sehingga pada tahun 2019 mendatang indonesia akan mulai mengimpor LNG. 

Selain kerjasama impor LNG ke Indonesia, RI-AS juga melakukan kerjasama di sektor listrik. Salah satunya kerja sama Pacific Infra Capital, PT. Infra Cerdas Indonesia dengan PT Perusahaan Listrik Negara untuk pemasangan smart metering di jaringan listrik Jawa-Bali.

PLN juga meneken kerjasama bisnis dengan PowerPhase untuk pemasangan TurboPhase booster system pada PLTG. Teknologi itu diklaim mengurangi konsumsi bahan bakar, mengurangi emisi dan memperbesar output listrik.

Kontan, Page-14, Saturday, April, 22, 2017

Oil and Gas Company Poor Citizens Raas



The presence of Kangean Energy Indonesia (KEI) Petroleum and Gas (Oil) Company in the Raas Islands region, Sumenep regency, Madura Island-East Java, should be able to prosper the local community. This is exactly the opposite. This oil and gas company makes the indigenous people live in poverty and is expelled from their birth ground.

Ketupat Village Head, Raas Island Subdistrict, Sumenep Regency, Muhammad Tamrin, said that the long-running oil and gas company KEI in Raas waters has a negative impact on the community, especially the fishermen.

Since the existence of oil and gas companies, the catch can not support their families. Because the catch is no longer able to sustain the survival, gradually the people of Raas Islands, especially Ketupat citizens choose to migrate out of Malaysia, Saudi Arabia, and Bali, and Jakarta. "Once the fishermen once went to sea can get a fish 6 quintals. But once there
Oil and gas companies, fishermen only get 1 quintal, "he complained, Friday (21/04)

It is a concern for life in the midst of oil and gas wealth but can not enjoy it. Earth's riches are dredged and enjoyed by outsiders. Tamrin rate, this situation is very heartbreaking. Do not want to fall into the same hole, the village and the community will reject the presence of Husky Cnooc Madura Limited (HCML) which in the near future also plans to conduct oil and gas activities, in the territorial waters of the Raas Islands. If HCML wants to do oil and gas activities in its area, there must be agreement with the community.

HCML is indeed planning to conduct exploration activities of Raas Islands region. The information, this month will begin construction. He added that his side will refuse if the company is not clear reciprocity to the local community. "We will mobilize the community to reject HCML if there is a tanker, we will go rig offshore and re-ordered before the company does not sit with the community," he said.

Raas Fauzi Muhfa Island youth figures assess the presence of HCML will not be much different from existing oil and gas companies. They just want to dredge the wealth of the region then miserable local residents. According to him, although the area is a producer of oil and gas, for many years has not increased.

"If HCML does not provide clarity of compensation to the public, we will refuse massively," he threatened.

IN INDONESIAN

Perusahaan Migas Miskinkan Warga Raas


Keberadaan perusahaan Minyak Bumi dan Gas (Migas) Kangean Energy Indonesia (KEI) di kawasan Wilayah kepulauan Raas, Kabupaten Sumenep, Pulau Madura-Jawa Timur, harusnya mampu menyejahterakan masyarakat setempat. Ini yang terjadi malah sebaliknya. Perusahaan Migas ini membuat warga pribumi hidup miskin dan terusir dari tanahya kelahirannya.

Kepala Desa Ketupat, Kecamatan Kepulauan Raas, Kabupaten Sumenep, Muhammad Tamrin mengatakan, perusahaan Migas KEI yang telah lama menggeksplorasi di Perairan Raas membawa dampak buruk kepada masyarakat, terutama para nelayan. 

Sejak adanya perusahaan migas, hasil tangkapannya tidak bisa menghidupi keluarga mereka. Karena hasil tangkapan sudah tidak lagi mampu menopang kelangsungan hidup, berangsur-angsur masyarakat Kepulauan Raas, terutama warga Ketupat memilih merantau keluar negeri Malaysia, Arab Saudi, dan Bali, serta Jakarta. “Dulu nelayan sekali melaut mampu mendapatkan ikan 6 kwintal. Namun setelah ada
perusahaan migas, nelayan hanya mendapat 1 kwintal,” keluhnya, Jumat (21/04)

Sungguh memprihatinkan hidup di tengah-tengah kekayaan Migas tetapi tidak bisa menikmatinya. Kekayaan bumi dikeruk lalu dinikmati orang luar. Tamrin menilai, keadaan ini sangat memilukan. Tidak ingin jatuh ke lubang yang sama, pihak desa dan masyarakat akan menolak kehadiran Husky Cnooc Madura Limited (HCML) yang dalam waktu dekat juga berencana melakukan kegiatan migas, diwilayah perairan Kepulauan Raas. Jika HCML ingin melakukan kegiatan migas di daerahnya, harus ada kesepakatan dengan masyarakat.

HCML memang sedang berencana melakukan aktivitas eksplorasi kawasan Kepulauan Raas. Informasinya, bulan ini akan memulai pembangunan. Ia menambahkan, pihaknya akan menolak jika perusahaan tidak jelas timbal balik kepada masyarakat setempat. “Kami akan mengerahkan masyarakat menolak HCML jika ada kapal tanker, akan kami datangi rig di lepas pantai dan menyuruh kembali sebelum perusahaan tidak duduk bersama dengan masyarakat,” katanya.

Tokoh pemuda Kepulauan Raas Fauzi Muhfa menilai kehadiran HCML tidak akan jauh berbeda dengan perusahaan migas yang sudah ada. Mereka hanya ingin mengeruk kekayaan daerahnya kemudian menyengsarakan warga setempat. Menurutnya, meski daerahnya penghasil Migas, selama bertahun-tahun tidak meningkat.

“Jika HCML tidak memberikan kejelasan kompensasi kepada masyarakat, kami akan menolak secara besar-besaran, ancamnya. 

Memorandum, Page-11, Saturday, April, 22, 2017

Oil Supply Should Be Noticed



Indonesia Country Manager at Natural Resource Governance Institute Emanuel Bria said, as an oil importer country, Indonesia needs to pay attention to supply security. Indonesia should make energy resilience a part and national resilience.

"As an oil importing country, which is still the main source of energy, Indonesia should be able to secure supply from the selling country. It requires high level political diplomacy because energy security must actually be part of national security," Emanuel said as speaker in a discussion titled "Indonesia's Energf Diplomacy: High Politics or Low Politics ", Friday (21/4), in Jakarta

Emanuel mentions that the energy paradigm in Indonesia is still the energy as an economic driver, not as a national security. The energy produced, for example, oil and natural gas, is seen as a source of state revenue and also a source that could have a double impact on the national economy.

"A country that considers energy security as a national defense will devote all its resources to secure supply or energy needs in the long term. The state will directly lead these efforts, "Emanuel said.

Energy security in Indonesia in the form of openasional reserves of fuel oil (BBM) for 18-22 days, somewhat vulnerable. National security is difficult to maintain in situations of laicis, such as war. Generally, the energy security of a country is at least 90 days.

"High-level diplomacy to secure energy supplies should involve cross-ministries, such as the Ministry of Foreign Affairs and the Ministry of Defense. It is not the responsibility of the Ministry of Energy and Mineral Resources alone, "Emanuel said.

Maryati Abdullah, Coordinator of Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, a civil society coalition for transparency and accountability of Indonesia's extractive resources, added that relying only on one country for energy supplies is particularly vulnerable to national energy resilience. Indonesia should diplomate to various countries to increase the supply of oil from abroad.

"In addition, urgent energy diversification is done. Indonesia should not rely solely on fossil energy alone. The current trend is the use of new renewable efiergi, "said Maryati.

IN INDONESIAN

Pasokan Minyak Harus Diperhatikan


Indonesia Country Manager pada Natural Resource Governance Institute Emanuel Bria mengatakan, sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia perlu memperhatikan keamanan pasokan. Indonesia harus menjadikan ketahanan energi sebagai bagian dan ketahanan nasional.

”Sebagai negara pengimpor minyak, yang masih menjadi sumber energi utama, Indonesia harus bisa mengamankan pasokan dari negara penjual, Ini memerlukan diplomasi politik tingkat tinggi karena sebenarnya ketahanan energi harus menjadi bagian dari ketahanan nasional,” kata Emanuel saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ”Indonesia’s Energf Diplomacy: High Politics or Low Politics”, Jumat (21/4), di Jakarta

Emanuel menyebut bahwa paradigma energi di Indonesia masih menjadi energi sebagai penggerak ekonomi, bukan sebagai sebuah ketahanan nasional. Energi yang dihasilkan, misalnya, minyak dan gas bumi, dipandang sebagai sumber penerimaan negara dan juga sumber yang bisa menimbulkan dampak ganda pada perekonomian nasional. 

”Negara yang menganggap ketahanan energi sebagai sebuah ketahanan nasional akan mencurahkan seluruh sumber dayanya untuk mengamankan pasokan atau kebutuhan energi dalam jangka panjang. Negara akan memimpin langsung usaha-usaha tersebut,” ujar Emanuel.

Ketahanan energi di Indonesia berupa cadangan openasional bahan bakar minyak (BBM) selama 18-22 hari, terbilang rentan. Keamanan nasional sulit dipertahankan apabila terjadi situasi laisis, seperti perang. Umumnya, ketahanan energi sebuah negara sedikitnya 90 hari. 

”Diplomasi tingkat tinggi untuk amankan pasokan energi harus melibatkan lintas kementerian, seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan. Bukan menjadi tanggung jawab Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saja,” kata Emanuel.

Maryati Abdullah, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif Indonesia, menambahkan, hanya bergantung pada satu negara untuk pasokan energi sangat rentan bagi ketahan energi nasional. Indonesia harus berdiplomasi ke berbagai negara untuk memperbanyak sumber pasokan minyak dari luar negeri.

”Selain itu, diversifikasi energi yang mendesak dilakukan. Indonesia tidak boleh hanya mengandalkan energi fosil semata. Tren sekarang ini adalah pemanfaatan efiergi baru terbarukan,” ujar Maryati.

Kompas, Page-19, Saturday, April, 22, 2017

Friday, April 21, 2017

Negotiations East Natuna Not Completed



The visit of United States Vice President Mike Pence to Indonesia has not been able to complete the negotiation of the cooperation contract of East Natuna Block development.

The Government of Indonesia continues to seek to obtain the proceeds from the East Natuna Block so that it not only obtains income from taxes alone. East Natuna Block will be developed by consortium ExxonMobil, PTT EP Thailand, and PT Pertamina (Persero). The consortium proposes a 0%: 100% profit-sharing scheme, which is entirely for contractors.

Deputy Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arcandra Tahar said the government wants to get a share in the contract of Natuna Fast Block. However, he does not mention what percentage of the government's desired revenue share. He just made sure that the share of Fast Natuna is not 100% for the contractor. 

He claimed to have discussed it with Senior Vice President of ExxonMobil Corporation Mark W. Albers when visiting Indonesia in early April 2017. ExxonMobil party will send a letter in response to the request of Indonesia.

"The country can only be zero. Only taxes, 100: 0 and we can only tax only.

Things like this we need to discuss further, "he said on Thursday (20/4).

According to him, the problem of cooperation contracts has been the concern of the government and contractors while waiting for the completion of technology and market review (TMR). The government is awaiting a response from a consortium of contractors.

Since it was discovered in the 1970s by ENI Italia, and named Natuna D Alpha, the project has not been developed until it is renamed East Natuna. Currently, PT Pertamina as a consortium leader in partnership with ExxonMobil and PTT EP Thailand is still conducting a study that is planned to be completed this year. "Hopefully in a few more months it will be resolved," he said.

Senior Vice President of Upstream Business Development of Pertamina Denie Tampubolon said it did not know the corresponding letter referred to the Deputy Minister of Arcandra.

Apart from that, he said, TMR is still running and is targeted to be completed by June 2017. TMR will be a reference to establish fiscal requirements in the cooperation contract. "We still do TMR. The target is by June 2017, "he said.

Separate development options between oil and gas because it is feared that the oil structure will disrupt the gas structure. Based on data from the ESDM Ministry, East Natuna Block holds the potential of 222 trillion cubic feet (TCF) gas with only 46 TCF of which can be produced. The reason, 72% of the composition is carbon dioxide.

Thus, it takes the technology of the company also injection of carbon dioxide that can produce gas efficiently.

ENERGY INVESTMENTS

In connection with the visit of United States Vice President Mike Pence, Vice President Jusuf Kalla said the government has discussed the introduction of investment in the energy sector, for example, the development of the East Natuna Block by ExxonMobil and the Indonesia Deepwater Development (IDD) by Chevron.

Chevron Indonesia Company is revising the IDD plan of development (PoD) due to an increase in investment value from US $ 6.9 billion in 2007 to US $ 12 billion in 2014. The unfinished POD revision has impacted the postponement of final investment decision of the IDD project.

However, until now the development has not continued since the government did not accept the proposed incentives in the form of investment credit to make the project economical. Vice President of the Republic of Indonesia Jusuf Kalla plans to give a speech in the event Indonesia-American business forum today. The event will be attended by Mike Pence.

ESDM Minister Ignatius Jonan said the talks conducted on Thursday (20/4) with Mike Pence only touch the macroeconomic aspects.

"The discussion of the energy sector in a more macroscope is expected to improve the Indonesian economy," he said.

Pence emphasized this visit will enhance the strategic partnership between the two countries, especially in the energy field. "We want to prioritize Indonesia as a business partner in the energy sector," Pence said.


IN INDONESIAN

Negosiasi East Natuna Belum Tuntas


Kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence ke Indonesia ternyata belum mampu menuntaskan negosiasi kontrak kerja sama pengembangan Blok East Natuna.

Pemerintah Indonesia tetap mengupayakan agar mendapatkan bagi hasil dari Blok East Natuna sehingga tidak hanya memperoleh pendapatan dari pajak saja. Blok East Natuna akan dikembangkan oleh konsorsium ExxonMobil, PTT EP Thailand, dan PT Pertamina (Persero). Konsorsium mengusulkan skema bagi hasil 0%:100%, yaitu seluruhnya untuk kontraktor. 

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah ingin mendapatkan bagian dalam kontrak kerja sama Blok Fast Natuna. Namun, dia tidak menyebut berapa persen yang bagi hasil diinginkan pemerintah. Dia hanya memastikan agar bagi hasil Fast Natuna bukan 100% untuk kontraktor. Dia mengklaim telah membicarakan hal itu dengan Senior Vice President ExxonMobil Corporation Mark W. Albers ketika berkunjung ke Indonesia pada awal April 2017.  Pihak ExxonMobil akan mengirim surat sebagai respons atas permintaan Indonesia.

“Negara itu hanya dapat nol. Hanya pajak, 100:0 dan kita hanya dapat pajak saja.

Hal-hal yang seperti ini perlu kita bicarakan lebih lanjut,” ujarnya, Kamis (20/4).

Menurutnya, masalah kontrak kerja sama sudah menjadi perhatian pemerintah dan kontraktor sambil menanti rampungnya kajian teknologi dan pasar (technology market review/TMR). Pemerintah sedang menanti respons dari konsorsium kontraktor.

Sejak ditemukan pada 1970-an oleh ENI Italia, dan bernama Natuna D Alpha, proyek tersebut belum bisa dikembangkan hingga berganti nama menjadi East Natuna. Saat ini, PT Pertamina sebagai pemimpin konsorsium bermitra dengan ExxonMobil dan PTT EP Thailand masih melakukan kajian yang rencananya selesai pada tahun ini. “Semoga dalam beberapa bulan lagi bisa terselesaikan,” katanya.

Senior Vice President Upstream Business Development Pertamina Denie Tampubolon mengatakan, pihaknya tidak mengetahui terkait surat yang dimaksud Wakil Menteri Arcandra tersebut.

Terlepas dari itu, dia menuturkan, TMR masih berjalan dan ditargetkan selesai pada Juni 2017. TMR akan menjadi acuan untuk menetapkan syarat-syarat fiskal dalam kontrak kerja sama. “TMR masih kita kerjakan. Targetnya paling lambat Juni 2017,” katanya.

Opsi pengembangan terpisah antara minyak dan gas karena dikhawatirkan struktur minyak akan mengganggu struktur gas. Berdasarkan data Kementerian ESDM, Blok East Natuna menyimpan potensi gas 222 triliun cubic feet (TCF) dengan hanya 46 TCF di antaranya yang bisa diproduksi. Pasalnya, 72% komposisinya adalah karbondioksida.

Dengan demikian, diperlukan teknologi perusahan juga injeksi karbondioksida yang bisa memproduksi gas secara efisien. 

INVESTASI ENERGI

Terkait dengan kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan pemerintah telah membicarakan pendahuluan investasi di sektor energi, contohnya perihal pengembangan Blok East Natuna oleh  ExxonMobil dan proyek migas laut dalam atau Indonesian Deepwater Development (IDD) oleh Chevron.

Chevron Indonesia Company sedang merevisi rencana pengembangan lapangan (plan of development/PoD) IDD karena adanya kenaikan nilai investasi dari US$6,9 miliar pada 2007 menjadi US$12 miliar pada 2014. Belum selesai-nya revisi POD berdampak pada penundaan keputusan final investasi proyek IDD.

Namun, hingga kini pengembangan belum berlanjut sejak pemerintah tidak menerima usulan pemberian insentif berupa kredit investasi untuk membuat proyek ekonomis. Wakil Presiden RI Jusuf Kalla rencananya akan memberikan sambutan dalam acara forum bisnis Indonesia-Amerika hari ini. Acara tersebut akan dihadiri Mike Pence.

Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan perbincangan yang dilakukan pada Kamis (20/4) dengan Mike Pence hanya menyentuh aspek ekonomi makro.

“Perbincangan sektor energi dalam lingkup yang lebih makro sehingga diharapkan mampu meningkatkan perekonomian Indonesia,” katanya.

Pence menegaskan kunjungan kali ini akan meningkatkan kemitraan strategis antara kedua negara khususnya di bidang energi. “Kami ingin memprioritaskan Indonesia sebagai rekan bisnis di sektor energi,” kata Pence. 

Bisnis Indonesia, Page-30, Friday, April, 21, 2017

Thursday, April 20, 2017

56 Companies Follow CPD Selection



PT Pertamina invited 56 companies to participate in 7 million barrels of crude process (Deal CPD) contracts. CPD is required because this type of oil can not be processed in Pertamina's refinery

Vice President of Crude and Commercial Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina Hasto Wibowo said it has spread the invitation to 56 companies to follow the beauty contest. Later, the winner of this selection will be tasked with granting the company's crude oil as much as 7 million Barrels at their refinery.

"The CPD process is still in the process of evaluation," he said Wednesday (19/4). The sequence of the selection process is to start with the Company sending the invitation following the terms and conditions format to follow the completion of the CPD.

Furthermore, invited companies will submit their offer proposals. The next stage is the evaluation of all proposals that enter as well as the determination of companies that enter the criteria to be invited negotiations in order to get the best terms and conditions.

"Our target of loading oil processing starts in July, so May will determine the winner)," said ISC Senior Vice President Daniel Purba.

Daniel explained, there is no change in the pattern of this crude oil processing contract with the previous. The oil to be processed by the winning company is Pertamina's quota oil from oil and gas block in Irak where the company has a stake of participation, namely West Qurna-1 Block. In addition, the company will also process the purchased company from Iraq State Organization for Marketing of Oil (SOMO).

"Then the results of fuel (fuel oil) below to Indonesia, namely Mogas 88 and 92, or Avtur. Depending on which offer is the most profitable and whether it can offer to replace direct imports of finished products, "he explained.

The processing of oil it calls will take place during the second half of this year. Therefore. It has made an agreement with the Iraqi party to be able to lifting all of the company's crude oil in the second half of 2017. The company's total crude oil in the year reaches 3 million barrels, while oil purchased about 4 million barrels.

Last year, Pertamina also donated this oil and Iraq to another company's refinery. At that time, the company cooperated with Shell International Eastern Trading Company (SIETCO) which owns a refinery in Singapore. During July-August last year, products from Shell's refineries could include mogas, aviation fuel (fuel), diesel (diesel), MFO (marine fuel oil), LPG (liquefied petroleum gas / LPG ), In accordance with the needs of the company.

At that time, SIETCO was selected after selection of refinery owners in Asia Pacific. The selection process lasted long enough from January to May 2016. At that time, SIETCO was also listed as one of the Lists of Selected Business Partners (DMUT) of ISC Pertamina. Daniel added, did not rule Shell also follow this selection. "Shell is interested," he said.

IN INDONESIAN

56 Perusahaan   Ikuti Seleksi CPD


PT Pertamina mengundang 56 perusahaan untuk mengikuti seleksi kontrak pemrosesan minyak mentah (crude process/Deal CPD) sebesar 7 juta barel. CPD diperlukan akrena jenis minyak ini belum dapat diolah di kilang milik Pertamina

Vice President Crude and Commercial Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina Hasto Wibowo mengatakan, pihaknya telah menyebar undangan kepada 56 perusahaan untuk mengikuti beauty contest. Nantinya, pemenang seleksi ini akan bertugas mengolahkan minyak mentah milik perseroan sebanyak 7 juta barel di kilang milik mereka.

“Saat ini tahapan proses CPD masih dalam proses evaluasi." kata dia dijakarta, Rabu (19/4). Urutan proses seleksi ini yakni dimulai dengan Perseroan mengirimkan undangan berikut format terms and condition untuk mengikuti selesai CPD.

Selanjutnya, perusahaan yang diundang akan mengirimkan proposal penawaran mereka. Tahap berikutnya adalah evaluasi seluruh proposal yang masuk sekaligus penetapan perusahaan yang masuk kriteria untuk diajak negosiasi untuk mendapatkan terms and condition terbaik.

"Target kami loading pengolahan minyak di mulai pada bulan Juli. Maka, Bulan Mei akan kami menentukan pemenangnya)," kata Senior Vice President ISC Daniel Purba.

Daniel menjelaskan, tidak ada perubahan pola kontrak pemrosesan minyak mentah ini dengan sebelumnya. Minyak yang akan diolah perusahaan pemenang ini yakni minyak jatah Pertamina dari blok migas di Irak di mana perseroan memiliki saham partisipasi, yakni Blok West Qurna-1. Selain itu, perusahaan juga akan mengolah yang dibeli perseroan dari State Organization for Marketing  of Oil (SOMO) Irak.

“Kemudian hasil BBM (bahan bakar minyak) dibawah ke Indonesia, yakni Mogas 88 dan 92, atau Avtur. Tergantung penawaran mana yang paling menguntungkan dan apakah bisa menawarkankan untuk ganti impor langsung produk jadi,” jelasnya.

Pemrosesan minyak ini disebutnya akan berlangsung selama semester kedua tahun ini. Untuk itu. pihaknya telah membuat ke sepakatan dengan pihak Irak agar dapat lifting seluruh minyak mentah jatah perseroan di paruh kedua 2017. Total minyak mentah jatah perseroan ini dalam setahun mencapai 3 juta barel, sementara minyak yang dibeli sekitar 4 juta barel. 

Pada tahun lalu, Pertamina juga mengolahkan minyak dan Irak ini ke kilang milik perusahaan lain. Waktu itu, perseroan menggandeng Shell International Eastern Trading Company (SIETCO) yang memiliki kilang di Singapura. Selama Juli-Agustus tahun lalu, produk yang dihasilkan dari kilang milik Shell itu bisa berupa mogas (bensin), aviation fuel (avtur), diesel (solar), MFO (marine fuel oil/minyak bakar), LPG (liquefied petroleum gas/LPG), sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Pada saat itu, SIETCO terpilih juga setelah dilakukan seleksi dari perusahaan pemilik kilang di Asia Pasifik. Proses seleksi tersebut berlangsung cukup lama dari Januari hingga Mei 2016. Saat itu, SIETCO juga terdaftar sebagai salah satu Daftar Mitra Usaha Terseleksi (DMUT) ISC Pertamina. Daniel menambahkan, tidak menutup kemungkinan Shell juga mengikuti seleksi kali ini. “Shell tertarik," katanya.

Investor Daily, Page-10, Thursday, April, 20, 2017

Pertamina Review ONWJ Block Development



The company must replace the previous block manager's investment.

PT Pertamina reviews the feasibility of the oil and gas production business in the Offshore Northwest Java Block (ONWJ) in the northern waters of West Java. The study was conducted because the government implemented a new policy on the transition of oil and gas blocks.

"ONWJ will be subject to the regulation. The new contractor is obliged to pay the investment cost which has not been returned, "said Pertamina Upstream Director Syamsu Alam.

The obligation is contained in the Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources No. 26 of 2017. The regulation forced the new manager of oil and gas blocks to replace the investment costs that have been issued, Old managers. The goal is that the previous block operator does not hesitate to invest Even though his contract is about to expire.

Pertamina has 100 percent ownership of the block since January 18, 2017. In previous contracts, the company controlled 73.5 percent of the shares. The remaining is owned by Energi Mega Persada ONWJ Ltd, a subsidiary of Bakrie Group, with 24 percent and KUFPEC Indonesia BV at 2.5 percent.

Under the new regulation, Pertamina will pay replacement cost to Energi Mega Persada and KUFPEC as the previous ONWJ block shareholder.

But Syamsu did not want to mention how much the replacement cost that must be disbursed company. The amount of investment reimbursement must be approved by the Special Unit for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas). The payment commitments will be stated in the agreement signed by the old contractor and the new contractor.

Payment obligations are also set forth in a decree on the management of oil and gas blocks issued by the Ministry of Energy. Pertamina also has to prepare big fund to replace investment in eight areas of oil and gas next year. This obligation is the government's assignment to Pertamina in Block Tuban, Sanga-Sanga Block, South East Sumatera Block, Ogan Komering Block, North Sumatra B Block, North Sumatra Offshore Block (NSO), Central Block, East-Kalimantan Block and Attaka Block. The area's concession period will be exhausted by 2018. "The regulation will also be applied in contracts ending in 2018," said Syamsu.

The Ministry of Energy and Mineral Resources asked Pertamina to complete the study. Therefore, the study will be a reference for the government to determine the additional oil and gas to the contractor
The ONWJ block is the first to use a gross split scheme.

Under this contract, Pertamina's share is 57.5 percent and gas share of 62.5 percent. The government only takes part of oil 42.5 percent and gas at 37.5 percent. Deputy Energy Minister Arcandra Tahar said the share of the results is final, without cutting the cost of operational replacement (cost recovery).

The government had promised an additional revenue share of 2.5 percent if oil prices reached US$ 85 per barrel. Conversely, if the price above it, the revenue share of 2.5 percent will be accepted by the state. "They have not given an official economic figure yet. If submitted and evaluated, if necessary add 5 percent, "said Arcandra.

IN INDONESIAN

Pertamina Kaji Ulang Pengembangan Blok ONWJ


Perusahaan harus mengganti investasi pengelola blok sebelumnya.

PT Pertamina mengkaji ulang kelayakan bisnis produksi minyak dan gas bumi di Blok Offshore Northwest Java (ONWJ) di perairan utara Jawa Barat. Studi dilakukan karena pemerintah menerapkan kebijakan baru mengenai transisi blok migas. 

“ONWJ akan terkena peraturan tersebut. Kontraktor baru berkewajiban membayar biaya investasi yang belum kembali," ujar Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam.

Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2017. Regulasi memaksa pengelola baru blok migas mengganti biaya investasi yang sudah dikeluarkan pengelola lama. Tujuannya adalah supaya operator blok sebelumnya tidak ragu mengeluarkan investasi meskipun kontraknya bakal kedaluwarsa.

Pertamina mengantongi 100 persen kepemilikan blok sejak 18 Januari 2017. Pada kontrak sebelumnya, perusahaan menguasai saham sebesar 73,5 persen. Sisanya dimiliki Energi Mega Persada ONWJ Ltd, anak usaha Grup Bakrie, sebesar 24 persen dan KUFPEC Indonesia BV sebesar 2,5 persen. 

Berdasarkan regulasi baru, nantinya Pertamina akan membayar biaya pengganti kepada Energi Mega Persada dan KUFPEC selaku pemegang saham blok ONWJ sebelumnya.

Namun Syamsu tidak mau menyebutkan berapa besaran biaya pengganti yang wajib dikucurkan perusahaan. Besaran penggantian investasi harus disetujui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Komitmen pembayaran nantinya akan tertuang dalam perjanjian yang diteken kontraktor lama dan kontraktor baru. 

Kewajiban pembayaran juga termaktub dalam suraf penetapan pengelolaan blok migas yang diterbitkan Kementerian Energi. Pertamina juga harus menyiapkan dana besar untuk mengganti investasi di delapan area migas tahun depan. 

Kewajiban ini merupakan buntut penugasan pemerintah kepada Pertamina diBlok Tuban, Blok Sanga-Sanga, Blok South East Sumatera, Blok Ogan Komering, Blok North Sumatera B, Blok North Sumatera Offshore (NSO), Blok Tengah, Blok East- Kalimantan, dan Blok Attaka. Masa konsesi area tersebut akan habis pada 2018. “Peraturan itu juga akan diterapkan di kontrak-kontrak yang berakhir tahun 2018,” tutur Syamsu.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meminta Pertamina segera merampungkan studi. Sebab, Studi akan menjadi acuan pemerintah untuk menentukan bagian migas tambahan kepada kontraktor Blok ONWJ menjadi wilayah pertama yang memakai skema bagi hasil kotor (gross split). 

Berdasarkan kontrak ini, bagian Pertamina adalah 57,5 persen dan bagian gas sebesar 62,5 persen. Pemerintah hanya mengambil bagian minyak 42,5 persen dan gas sebesar 37,5 persen. Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar mengatakan bagian hasil tersebut sudah final, tanpa dipotong biaya pengganti operasional (cost recovery). 

Pemerintah sempat menjanjikan tambahan bagi hasil sebesar 2,5 persen jika harga minyak mencapai US$ 85 per barel. Sebaliknya, jika harga di atas itu, bagi hasil sebesar 2,5 persen akan diterima negara. “Mereka belum memberi angka keekonomian secara resmi. Kalau diajukan dan dievaluasi, kalau perlu tambah 5 persen,” ujar Arcandra.

Koran Tempo, Page-20, Thursday, April, 20, 2017

Govt hopes to maintain production with new decree



The government hopes to stem the decline in national oil production by requiring newly appointed contractors to reimburse the expenses of existing contractors. Holders of expiring oil and gas concessions often put the brakes on their investments approaching the end of their contracts, which leads to a decline in production The Energy and Mineral Resources Ministry recently issued a decree requiring the existing contractors to maintain their production levels until the end of the contract.

The decree, No. 26/2017 on the mechanism of the return of investment costs in the upstream oil and gas sector, guarantees that their unrecovered costs will be reimbursed by new investors taking over their concessions. 

“The investment cost must be verified and approved by SKK-Migas [the Upstream Oil and Gas Regulatory Special Task Force],” the decree says.

The government hopes the decree will serve as an incentive to keep production levels up. This year’s state budget sets a ready-to-sell production target, also known as lifting target, at 1.9 million barrels of oil equivalent per day (boepd).

This comprises 815,000 barrels of oil per day (bopd) and 6,440 million metric standard cubic feet of gas per day (mmscfd). While the gas-lifting target has largely been met in the first quarter, oil lifting has fallen short of its target, with only 787,800 bopd produced.

The government also hopes the decree will remove uncertainty about unrecovered costs if existing contractors decide to extend their contracts or take over other contracts.

Contractors extending their contracts under the reimbursement scheme, known as cost recovery, will be reimbursed for unrecovered costs by the government in the next production-sharing contract (PSC).
Moreover, if contractors decide to extend the contracts under the gross-split scheme. the unrecovered
cost of the previous PSC will be included in the profit split between the government and contractors. Finally, if contractors extend their contracts with new partners, the latter must also bear the unrecovered costs based on their participating interests.

The Indonesian Petroleum Association (IPA) has welcomed the new decree as a legal basis to address the unrecovered cost issue during the transition from existing contractors to new ones. "However, it might be difficult for old contractors to invest if the [production] potential is small,” IPA executive director Marjolijn Wajong said.

Experts have mixed views on whether the new regulation will be beneficial for the upstream oil and gas sector. Andrew Harwood, research director of the Asia upstream at consultancy firm Wood Mackenzie, said the decree was likely to encourage operators to maintain investment during the transition, which is key to maintaining production levels.

“For existing operators, it provides greater certainty around recouping their investment. For new operators, the existing unrecovered cost liability must be fully understood and factored into the assessment of the attractiveness of applying for an expiring PSC,” he told The Jakarta Post on Tuesday. The new regulation means the fiscal terms must be sufficiently attractive for the new operator, taking into account the unrecovered cost liability 

ReforMiner Institute researcher Pri Agung Rakhmanto claimed that several terms might clash with a previous decree on the new gross-split scheme, which does not take into account the new contractor’s cost reimbursement responsibility in the profit split.

The new decree may make Indonesia’s upstream oil and gas sector even less flexible, as it prioritizes certain companies only. “Only those who are truly interested in the oil and gas blocks can take over from the previous contractors due to the very large consequences [in investment],” Pri Agung, said.

IN INDONESIAN

Pemerintah berharap bisa mempertahankan produksi dengan keputusan baru


Pemerintah berharap dapat membendung penurunan produksi minyak nasional dengan mewajibkan kontraktor yang baru ditunjuk untuk mengganti biaya kontraktor yang ada. Pemegang konsesi minyak dan gas yang kadaluwarsa sering mengerem investasi mereka menjelang akhir kontrak mereka, yang menyebabkan turunnya produksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral baru-baru ini mengeluarkan sebuah keputusan yang mengharuskan kontraktor yang ada untuk mempertahankan tingkat produksinya sampai akhir Dari kontrak

Keputusan tersebut, No. 26/2017 tentang mekanisme pengembalian biaya investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi, menjamin bahwa biaya yang belum dipulihkan akan diganti oleh investor baru yang mengambil alih konsesi mereka.

"Biaya investasi harus diverifikasi dan disetujui oleh SKK-Migas [Satuan Tugas Regulasi Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi]," kata keputusan tersebut.

Pemerintah berharap keputusan tersebut akan menjadi insentif untuk mempertahankan tingkat produksi. Anggaran negara tahun ini menetapkan target produksi siap jual, yang juga dikenal sebagai target pengangkatan, pada 1,9 juta barel setara minyak per hari (boepd).

Ini terdiri dari 815.000 barel minyak per hari (bopd) dan 6.440 juta metrik standar kaki kubik gas per hari (mmscfd). Sementara target pengangkatan gas sebagian besar telah terpenuhi pada kuartal pertama, lifting minyak telah gagal mencapai targetnya, dengan hanya 787.800 bopd yang diproduksi.

Pemerintah juga berharap keputusan tersebut akan menghilangkan ketidakpastian mengenai biaya yang tidak terpulihkan jika kontraktor yang ada memutuskan untuk memperpanjang kontrak mereka atau mengambil alih kontrak lainnya.

Kontraktor yang memperpanjang kontrak mereka di bawah skema penggantian, yang dikenal sebagai cost recovery, akan diganti untuk biaya yang tidak dapat dipulihkan oleh pemerintah dalam kontrak bagi hasil berikutnya (production sharing sharing / PSC).

Selain itu, jika kontraktor memutuskan untuk memperpanjang kontrak di bawah split split sch eine. Yang belum dipulihkan Biaya PSC sebelumnya akan dimasukkan dalam pembagian keuntungan antara pemerintah dan kontraktor. Akhirnya, jika kontraktor memperpanjang kontrak mereka dengan mitra baru, yang terakhir juga harus menanggung biaya yang belum dipulihkan berdasarkan kepentingan mereka yang berpartisipasi.

Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) telah menyambut baik keputusan baru tersebut sebagai dasar hukum untuk mengatasi masalah biaya yang tidak terpulihkan selama masa transisi dari kontraktor yang ada ke yang baru. "Namun, sulit bagi kontraktor lama untuk berinvestasi jika potensi produksi kecil," kata direktur eksekutif IPA, Marjolijn Wajong.

Para ahli memiliki pandangan yang beragam mengenai apakah peraturan baru tersebut akan bermanfaat bagi sektor hulu migas. Andrew Harwood, direktur riset hulu Asia di perusahaan konsultan Wood Mackenzie, mengatakan bahwa keputusan tersebut cenderung mendorong operator untuk mempertahankan investasi selama masa transisi, yang merupakan kunci untuk mempertahankan Tingkat produksi.

"Untuk operator yang ada, ini memberikan kepastian yang lebih besar seputar investasi mereka kembali. Bagi operator baru, kewajiban biaya yang belum terpulihkan harus sepenuhnya dipahami dan dimasukkan dalam penilaian daya tarik mengajukan PSC yang akan berakhir, "katanya kepada The Jakarta Post pada hari Selasa. Peraturan baru ini berarti persyaratan fiskal harus cukup menarik bagi operator baru, dengan mempertimbangkan kewajiban biaya yang tidak terpulihkan

Peneliti ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto mengklaim bahwa beberapa istilah mungkin berbenturan dengan keputusan sebelumnya mengenai skema split split baru, yang tidak mempertimbangkan tanggung jawab penggantian biaya kontraktor baru dalam pemecahan laba.

Keputusan baru tersebut dapat membuat sektor hulu migas di Indonesia bahkan kurang fleksibel, karena hanya memprioritaskan perusahaan tertentu saja. "Hanya mereka yang benar-benar tertarik dengan blok minyak dan gas dapat mengambil alih dari kontraktor sebelumnya karena konsekuensi yang sangat besar [dalam investasi]," kata Pri Agung.

Jakarta Post, Page-13, Thursday, April, 20, 2017

Pertamina Invites 56 Refinery Owners


Oil management abroad

PT Pertamina invited 56 foreign companies to participate in crude processing deal auction

Pertamina Hasto Wibowo, Pertamina's Vice President of Crude and Commercial Integrated Supply Chain (ISC) said it was still waiting for a response from the 56 invited companies. The national oil company opens opportunities for refiners to offer the best price as the yield of crude oil.

Through the crude processing deal (CPD) scheme, the company will supply crude oil to be processed at other company's refineries. Pertamina will pay the cost of processing crude oil to gasoline

The current CPD process stages are just up to the invite stage of the 56 companies. "The process stages are still waiting for submission [approval] from the companies we invite," he said, Wednesday (19/4).

Under Pertamina's plan, there are 7 million barrels of gasoline to be generated in the Il / 2017 semester. Pertamina will send crude oil about 1 million barrels per month. The company aims to start shipping crude oil by June 2017. "A total of 7 million barrels during the semester ll / 2017," he said.

Gasoline consists of several types of petroleum products such as Premium, Pertalite, and Pertamax types. ISC Senior Vice President of Pertamina Daniel Purba said that if the crude oil shipments from Pertamina had started in June 2017, the company must establish the refinery owner company to be leased in May 2017.

The processed oil comes from Pertamina's overseas assets, such as in Iraq, 3 million barrels and 4 million barrels will be supplied through spot market purchases. "If the loading is June," In May we have to set the winner, "he said.

Refinery owners in Asia-Pacific, he said, would be the target in this auction. Location and price, the main consideration in choosing partner candidates in cooperation oil services. Because the capacity of oil refineries in the country today is not directly proportional to the level of consumption of fuel oil (BBM)

RIGHT UP

BP Statistical Review also noted the trend of fuel consumption in the country continues to rise. In 2005, fuel consumption was at the level of 1.5 million barrels per day (BPD). Then, the next 5 years, ie in 2010, fuel consumption rose to the level of 1.4 million BPD And rose to 1.6 million BPD in 2015.

Therefore, to get around the import of BBM products, it is innovating by using oil services through refineries abroad.

Based on data from Pertamina, crude oil imports in 2017 will touch 140 million barrels, up 5% compared to 134 million barrels a year earlier. Crude oil imports are imported from various countries, such as Saudi Arabia with 39 million barrels, Africa 18 million barrels, Asia includes Malaysia, Thailand and Brunei Darussalam 60 million barrels and from the Mediterranean as much as 32 million barrels.

To offset crude oil imports, Pertamina targets domestic procurement of 181.3 million barrels of oil this year. Procurement of oil from within the country comes from the government, Pertamina, and profit sharing contractor cooperation contracts (KKKS).

In contrast, Pertamina targets imports of Premium (octane content / RON 85) in 2017 to only 62 million barrels, down 16% compared to last year's 73.7 million barrels. For the type of Solar with 0.3% and 0.25% sulfur content used for the transportation sector, the state-owned oil and gas company targets imports of 6 million barrels.

On the other hand, a special type of Solar with low sulfur and fame (fatty acid methyl ester/biodiesel), it will still import 22.18 million barrels to meet the needs of the mining sector. "The rise in import growth base fuel consumption by 3%. 4% per year "says, Daniel.

IN INDONESIAN
Pengelolaan minyak di luar negeri

Pertamina Undang 56 Pemilik Kilang


PT Pertamina mengundang 56 perusahaan asing untuk mengikuti lelang kerja sama pengolahan minyak mentah atau crude processing deal

Vice President Crude and Commercial Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina Hasto Wibowo mengatakan, pihaknya masih menunggu respons dari 56 perusahaan yang diundang tersebut. Perusahaan minyak nasional itu membuka kesempatan bagi pemilik kilang untuk menawarkan harga terbaik sebagai imbal hasil mengolah minyak mentah.

Melalui skema crude processing deal (CPD), perseroan nantinya memasok minyak mentah untuk diolah di kilang milik perusahaan lain. Pertamina nantinya membayar biaya jasa pengolahan minyak mentah menjadi gasolin

Tahapan proses CPD saat ini baru sampai pada tahap invite [undang] 56 perusahaan. "Tahapan proses masih menunggu submit [persetujuan] dari perusahaan yang kami undang,” ujarya, Rabu (19/4).

Berdasarkan rencana Pertamina, ada 7 juta barel gasolin yang akan dihasilkan pada semester Il/2017. Pertamina akan mengirimkan minyak mentah sekitar 1 juta barel per bulan. Perseroan menargetkan untuk mulai mengapalkan minyak mentah pada Juni 2017. “Total 7 juta barel selama semester ll/2017" katanya.

Gasolin terdiri dari beberapa jenis produk bahan bakar minyak seperti Premium, Pertalite, dan jenis Pertamax. Senior Vice President ISC Pertamina Daniel Purba mengatakan, jika pengiriman minyak mentah dari Pertamina sudah dimulai Juni 2017, perseroan harus menetapkan perusahaan pemilik kilang yang akan disewa pada Mei 2017. 

Minyak yang diolah tersebut berasal dan hasil produksi aset Pertamina yang berada di luar negeri, seperti di Irak 3 juta barel dan 4 juta barel akan dipasok melalui pembelian di pasar spot. “Kalau loading-nya Juni," Bulan Mei kita harus menetapkan pemenangnya," katanya.

Pemilik kilang di Asia-Pasifik, menurutnya, akan menjadi incaran dalam lelang kali ini. Lokasi dan harga, menjadi pertimbangan utama dalam memilih kandidat mitra dalam kerja sama jasa olah minyak. Pasalnya, kapasitas kilang minyak di dalam negeri saat ini belum berbanding lurus dengan tingkat konsumsi bahan bakar minyak (BBM)

NAIK TERUS

BP Statistical Review pun mencatat tren konsumsi BBM di Tanah Air terus naik. Pada 2005, konsumsi BBM berada di level 1,5 Juta barel per hari (bph). Kemudian, 5 tahun berikutnya, yakni pada 2010, konsumsi BBM naik ke level 1,4 juta bph Dan naik ke 1,6 juta bph pada 2015.

Oleh karena itu, untuk menyiasati impor produk BBM, pihaknya melakukan inovasi dengan menggunakan jasa olah minyak melalui kilang di luar negeri.

Berdasarkan data Pertamina, impor minyak mentah sepanjang 2017 akan menyentuh 140 juta barel naik 5% dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya 134 juta barel. lmpor minyak mentah itu didatangkan dari berbagai negara, seperti Arab Saudi sebanyak 39 juta barel, Afrika 18 juta barel, Asia mencakup Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam 60 juta barel dan dari Mediterania sebanyak 32 juta barel.

Untuk mengimbangi impor minyak mentah, Pertamina menargetkan pengadaan minyak dari dalam negeri sebanyak 181,3 juta barel pada tahun ini. Pengadaan minyak dari dalam negeri itu berasal dari bagian pemerintah, bagian Pertamina, dan bagi hasil kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Sebaliknya, Pertamina menargetkan impor Premium (kandungan oktan/RON 85) pada 2017 hanya 62 juta barel, turun 16% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu 73.7 juta barel.  Untuk jenis Solar dengan kadar sulfur 0,3% dan 0,25% yang digunakan untuk sektor transportasi, BUMN migas itu menargetkan impor 6 juta barel.

Di sisi lain, khusus jenis Solar dengan sulfur rendah dan fame (fatty acid methyl ester/ biodiesel), pihaknya masih akan mengimpor 22,18 juta barel untuk memenuhi kebutuhan sektor pertambangan. “Naiknya impor basisnya growth konsumsi BBM sebesar 3%. 4% per tahun" kata Daniel. 

Bisnis Indonesia, Page-23, Thursday, April, 20, 2017