Lemigas Will Determine the Fate of Kepodang

The decision of Petronas Carigali Muriah Ltd to set Kepodang Field in force majeure or majeure in July 2017 then got many puzzles. The cause of force majeure is that production continues to decline. Currently Lemigas-Oil Research and Development Center for  Oil and Gas Technology-is conducting an investigation into the incident.

The puzzle is because the field in Muriah Block, Central Java has just been produced in August 2015, but it is predicted to be  empty in 2018. Indicator, production continues to decline from initially 116 mmscfd to 80 mmscfd.

Head of Program and Communication Division SKK Migas Wisnu Prabawa Taher is still reluctant to explain more related to the  circumstances of this force majeure. It is still awaiting the study which is still being carried out by Lemigas.

"Still waiting for the latest study on subsurface, we will update soon,"

While Vice Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arcandra Tahar said it has not received reports from Lemigas, so can not take action.

"It may still be evaluated.Waiting for subsurface of Lemigas after that we can act," he said.

Bambang Widarsono, Head of Oil and Gas Research and Technology Center Lemigas has not replied to confirm when the  completion of the investigation on Kepodang.

Senior Manager of Corporate Affairs & Administration Petrnonas Carigali Indonesia Andiono Setiawan disclosed Kepodang  related issues, it will discuss and coordinate with PT Perusahaan Lislirik Negara (PLN) and PT Kalimantan Java Gas, a joint venture of PT  Perusahaan Gas Negara (PGN) and PT Bakrie and Brothers Tbk as owner of Kalija pipeline.

"Whatever the outcome of Lemigas, we wait," he said.

Meanwhile, Executive Director of Reforminer Institute Komaidi Notonegoro argues, force majeure is the state of the parties in the contract that can not meet the obligations, because things that can not be predicted. For example, natural disasters, national  emergencies, or similar events.

If gas pressure is lacking due to unforeseen circumstances (force majeure) and Petronas can prove it, it should not be penalized  from PLN.

"But if the gas pressure is less because it is not the unexpected situation, Petronas is responsible," he explained.

IN INDONESIA

Lemigas Akan Tentukan Nasib Kepodang

Keputusan Petronas Carigali Muriah Ltd monetapkan Lapangan Kepodang dalam keadaan force majeure atau kahar pada Juli  2017 lalu mendapat banyak teka-teki. Penyebab force majeure adalah produksinya terus menurun. Saat ini Lemigas-Pusat Penelitian dan  Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi-sedang melakukan investigasi atas kejadian itu.

Teka-teki itu lantaran lapangan di Blok Muriah, Jawa Tengah ini baru saja produksi Agustus 2015, tapi diprediksi kosong pada  tahun 2018. Indikatornya, produksi terus menurun dari awalnya 116 mmscfd menjadi 80 mmscfd.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher masih enggan menjelaskan lebih banyak terkait  keadaan force majeure ini. Pihaknya masih menunggu kajian yang masih terus dilakukan oleh Lemigas. 

"Masih menunggu kajian terbaru mengenai subsurface, nanti secepatnya akan kita update," 

Sementara Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, pihaknya belum menerima  laporan dari Lemigas, jadi belum bisa melakukan tindakan. 

"Mungkin masih dievaluasi. Menunggu subsurface dari Lemigas setelah itu kita bisa bertindak," katanya.

Bambang Widarsono, Kepala Pusat Penelitian dan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas belum membalas konfirmasi  kapan  selesainya investigasi pada Kepodang.

Senior Manager Corporate Affair  & Administration Petrnonas Carigali Indonesia Andiono Setiawan mengungkapkan terkait  masalah Kepodang, pihaknya akan diskusi dan koordinasi dengan PT Perusahaan Lislirik Negara (PLN) dan PT Kalimantan Jawa Gas,  perusahaan patungan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Bakrie and Brothers Tbk sebagai pemilik pipa Kalija. 

"Yang pasti apapun hasil dari Lemigas, kami tunggu," ungkap dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, force majeure merupakan keadaan  pihak-pihak dalam kontrak yang tidak dapat memenuhi kewajiban, karena hal-hal yang tidak dapat diprediksi. Misalnya, bencana alam,  keadaan darurat nasional, atau peristiwa-peristiwa sejenis itu. 

Jika tekanan gas yang kurang karena hal tidak diduga (force majeure) dan Petronas bisa membuktikan, seharusnya tidak bisa  dikenakan penalti dari PLN. 

"Tapi kalau tekanan gas kurang karena bukan keadaan yang tidak diduga itu, Petronas yang tanggungjawab," terangnya.

Kontan, Page-18, Monday, Sept 11, 2017.

KKKS Still Evaluate the Auction of 15 Oil and Gas Blocks

The Cooperation Contract Contractor (KKKS) is still likely to evaluate its participation in the 15-block oil and gas auction that has been offered since last May 2017. Whereas the Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) regarding gross  split has been revised some time ago.

Erwin Maryoto, Vice President of Public and Government Affairs of ExxonMobil Indonesia, said it appreciated the government's  efforts to revise the gross split scheme. "The government is listening to our inputs, it will be very interesting," Erwin said last week.

To that end, EXXonMobil continues to evaluate the oil and gas blocks offered.

"We see which one fits our portfolio, ExxonMobil has certain criteria, not just economical, but look at where the oil or gas focus is," he  said.

President Director of Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere said investment decisions in upstream oil and  gas will be handed over to each oil and gas company.

"We look forward to the best for members who follow this year's auction as well as contract renewal negotiations," Christina said.

President and General Manager of Total EP Indonesia Arividya Novianto said, it is still evaluating the auction of oil and gas  blocks this year. ESDM Ministry itself finally on Friday (8/9) gives blessing for Total EP gets 39% stake Mahakam. In the near future, Total  EP will get an official letter about it.

IN INDONESIA

KKKS Masih Mengevaluasi Lelang 15 Blok Migas

Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tampaknya masih akan mengevaluasi keikutsertaannya dalam lelang 15 blok migas yang  sudah ditawarkan sejak Mei 2017 lalu. Padahal Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai gross split sudah  direvisi beberapa waktu lalu.

Erwin Maryoto, Vice President Public and Goverment Affairs ExxonMobil Indonesia, mengatakan, pihaknya menghargai upaya  pemerintah merevisi skema gross split. "Pemerintah mendengarkan berbagai masukan kami. Ini akan sangat menarik," kata Erwin pekan  lalu.

Untuk itu, EXXonMobil terus melakukan evaluasi blok-blok migas yang ditawarkan. 

"Kami melihat mana yang cocok dengan portofolio kami. ExxonMobil memiliki kriteria tertentu, tidak hanya ekonomis, tapi melihat  minyak atau gas fokusnya di mana," ujarnya.

Presiden Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengatakan, keputusan investasi di hulu migas  Indonesia akan diserahkan ke masing-masing perusahaan migas. 

"Kami mengharapkan yang terbaik bagi anggota yang mengikuti lelang tahun ini dan juga negosiasi perpanjangan kontrak," kata  Christina.

Presiden dan General Manager Total EP Indonesia Arividya Novianto bilang, pihaknya masih mengevaluasi lelang blok migas  tahun ini. Kementerian ESDM sendiri akhirnya pada Jumat (8/9) memberikan restu bagi Total EP mendapat 39% saham Mahakam. Dalam  waktu dekat, Total EP akan mendapatkan surat resmi soal itu.

Kontan, Page-18, Monday, Sept 11, 2017.

Gross Split Higher Return Guarantee

The Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) has revised the ministerial regulation on oil and gas revenue sharing. The  government provides eight incentives to oil and gas contractors for investment in upstream oil and gas more attractive. Executive Director  of Reforminer Institute Komaidi Notonegoro rate, the revision of the rules on gross split gives a positive sentiment for the oil and gas  investment climate. The difference lies in the velocity side of the money that the contractor earns.

Nevertheless, the new regulation provides a better guarantee of the internal rate of return (IRR) that still attracts investors to  explore new oil and gas fields.

"It is not as fast as cost recovery, but if the new regulation says that the IRR will be positive, I think the contractor can guarantee the  profit," said Komaidi.

The government and contractors should indeed benefit from oil and gas investment. From the government side, state revenues  increase, while contractors still benefit from investment in upstream oil and gas sector to continue to explore new oil fields.

"If you only see the exploitation side of the source of tax revenue and do not think about the interests of investors, tax revenues from oil  and gas will remain slow" Komaidi said.

The government has indeed calibrated 12 oil and gas fields to provide higher IRR. The lowest IRR rate was set at 2.1 percent to  a high of 15.7 percent. The addition of IRR is done through a larger gross split scheme of 6.5 percent of the old gross split.

Thus, the average IRR obtained in the new gross split is 28.8 percent, the IRR is higher than the average IRR when using a cost  recovery system that is only 24.8 percent.

President of the Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere appreciated the revision of the rule. According to  Christina, oil and gas investment is closely related to the business climate, legal certainty, and competitive fiscal issues.

The decline in the profitability of oil and gas business makes investors more selective in investing their capital. Only oil and gas  projects with competitive returns will be done. With the change in the rules of profit sharing, Christina believes the competitiveness of oil  and gas industry in Indonesia is increasing.

Appreciation is also given for incentive increment to contractors in addition to progressive split (in gas prices), as well as a  progressive split increase in the early stages of production. Christina also appreciated the incentives for the development of the field  beyond the initial plan of development.

"We are also pleased that the option of contract type for PSC extension is still maintained," he added.

IPJ Executive Director Marjolijn Wajong assessed that the new scheme of gross split is more interesting than ever before.  However, contractors are still recalculating when compared to cost recovery.

"Every field is different, some are better, some are lower, some are big," Marjolijn said.

IN INDONESIA

Gross Split Jamin Return Lebih Tinggi

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merevisi peraturan menteri tentang bagi hasil migas. Pemerintah  memberikan delapan insentif kepada kontraktor migas agar investasi di hulu migas lebih menarik. Direktur Eksekutif Reforminer Institute  Komaidi Notonegoro menilai, revisi aturan tentang gross split tersebut memberikan sentimen positif bagi iklim investasi migas. Perbedaan terletak pada sisi perputaran uang yang diperoleh kontraktor.

Meski demikian, peraturan baru itu memberikan jaminan tingkat pengembalian biaya investasi (internal rate of return/IRR)  yang Iebih baik sehingga masih menarik investor untuk melakukan eksplorasi lapangan migas baru.

"Memang (balik modal dengan metode gross split) tidak secepat cost recovery. Tapi, kalau di peraturan baru dikatakan bahwa IRR akan  positif, saya kira kontraktor sudah dapat jaminan akan untung,” kata Komaidi.

Pemerintah dan kontraktor memang harus diuntungkan dalam investasi migas. Dari sisi pemerintah, penerimaan negara  bertambah, sedangkan kontraktor tetap mendapat keuntungan dari investasi di sektor hulu migas agar tetap mau mengeksplorasi Iadang  minyak baru.

"Kalau hanya melihat sisi eksploitasi yang menjadi sumber penerimaan pajak dan tidak memikirkan kepentingan investor, penerimaan  pajak dari migas akan tetap lambat" kata Komaidi.

Pemerintah memang telah melakukan kalibrasi terhadap 12 lapangan migas untuk memberikan IRR yang lebih tinggi. Tingkat  IRR terendah ditetapkan 2,1 persen hingga yang tertinggi 15,7 persen. Penambahan IRR dilakukan melalui skema gross split yang lebih  besar 6,5 persen dari gross split lama.

Dengan begitu, rata-rata IRR yang didapatkan pada gross split baru sebesar 28,8 persen, IRR tersebut lebih tinggi dibandingkan  rata-rata IRR saat menggunakan sistem cost recovery yang hanya 24,8 persen.

Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengapresiasi revisi aturan tersebut. Menurut Christina,  investasi migas terkait erat dengan iklim usaha, kepastian hukum, dan persoalan fiskal yang kompetitif.

Penurunan tingkat keuntungan dari bisnis migas membuat investor semakin selektif menanamkan modalnya. Hanya proyek  migas dengan imbal hasil kompetitif yang akan dikerjakan. Dengan perubahan aturan tentang bagi hasil tersebut, Christina meyakini daya  saing industri migas di Indonesia semakin meningkat. 

Apresiasi juga diberikan untuk kenaikan insentif kepada kontraktor penambahan progressive split (dalam harga gas), serta  kenaikan progressive split pada tahap awal produksi. Christina juga mengapresiasi adanya insentif untuk pengembangan Iapangan di Iuar  rencana pengembangan (plan of development) awal. 

"Kami juga senang opsi tipe kontrak untuk PSC perpanjangan masih dipertahankan,” imbuhnya.

Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong menilai, skema baru gross split lebih menarik dibandingkan sebelumnya. Namun,  kontraktor masih melakukan kalkulasi ulang jika dibandingkan dengan cost recovery. 

"Setiap lapangan pasti berbeda. Ada yang Iebih bagus, ada yang lebih rendah, ada yang besar" kata Marjolijn.

Jawa Pos, Page-6, Monday, Sept 11, 2017

There is an Uncertainty Factor

The government needs to resolve the uncertainty factor despite the revision of the profit sharing contract by extending the space for the addition of profit sharing or split for the contractor.

The ESDM Ministry is tired of issuing the Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources N0. 52/2017 on Amendment to Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources No. 8/2017 on the Gross Split Revenue Contract.

Bryan C Land, Lead Extractives Specialist of World Bank, said the government still needs to take care of other aspects that make the certainty factor trying to decrease.

"I affirm together with the fiscal changes, other non-fiscal aspects are also very important. So, we heard from the question and answer session that oil and gas companies are right about the condition if more and more conditions are solved, the better and it is the same challenge for every country, "he said in a socialization session on Friday (8/9).

In the socialization session, business actors questioned the tax imposition mechanism because the profit sharing did not include the taxes borne by the contractor. Whereas all the costs on the gross split contract include all taxes issued can no longer be returned through the cost recovery scheme because the division of government and contractor parts is done before netto.

In addition, the space for the addition of a share of the ministerial discretion that is no longer restricted is considered uncertain because it is based on the minister's unknown considerations of what factors influence it. Another factor of uncertainty is also included in the list of questions that is about there is no higher rule regarding gross split contracts.

The question arises because a gross split contract that is only regulated in the form of a ministerial regulation may change when there is a ministerial change. However, Land insists the government has made improvements with the previous scheme.

And the 12 field that became the reference, the application of gross split only gives an additional rate of return on investment (internal rate of return / IRR). With the lowest IRR addition range of 2.1% to the highest of 15.7%, the average IRR addition through the new gross split scheme is 6.5% greater than the old gross split.

Under the scheme, the average IRR obtained in the new gross split is 28.8% or higher than the IRR average in the production sharing contract (PSC) cost recovery of 24.8%.

Based on data from Wood Mackenzie, IRR in Indonesia with a gross split of 22.3% and PSC cost recovery 24.8%. The data shows the scheme is no better than other countries such as Australia with 30.4%, Papua New Guinea 38.2%, Ireland 40.3% and England 41, S%.

"Other countries with the same investment climate are working to make more interesting provisions. So we have to see, "he said.

LICENSE

Energy observer from Trisakti University, Pri Agung Rakhmanto, said that the government needs to solve ease of doing business problems to improve the investment climate. He calls for improvement in licensing, bureaucracy, regulatory consistency and respect for sanctity of contract.

According to him, this change is still too small impact because it only uses the previous condition ie Minister of Energy and Mineral Resources Regulation no. 8/2017 as a comparison.

"To get to the stage of attracting and bringing in more investment, I think still need to prove and solve the things or other problems that become the key ease of doing business," he said.

As is known, the government adds split weight and new variables that can improve the economy through Minister of Energy and Mineral Resources Regulation no. 52/2017. In addition, additional revenue-sharing was obtained in the initial phase of development when the contractor has not been able to enjoy the production. Then, the additional space for the results of the minister's discretion is no longer limited to 5%.

President of the Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere expects the revision to bring fresh air to investment in the upstream oil and gas sector.

However, he considered the work of the government has not been completed because the final share obtained by the contractor does not include tax. According to him, the uncertain tax factor can wobble the government's efforts to improve the economics of field development through the addition of profit sharing.

"We ask that the mechanism of taxation be clarified and ask the government not to increase the space of other uncertainty that could be contrary to the positive performance that has been done on the gross split," he said.

Meanwhile, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) President Director, Gunung Sardjono Hadi, said that the improvements are quite helpful, especially in the management of block of contracts assigned to Pertamina.

If there are changes in the conditions that make the economics of the development of the shrinkage field, two things to be done are cost efficiency as well as additional proposals split from ministerial discretion.

"the Room two, under our control is cost efficiency, the second we can ask for additional [from the minister's discretion]," he said.

Meanwhile, proposals for new contracts on eight contract-deprived working areas have been submitted to the government. According to him, the new contract is targeted to be signed at the end of September or early October this year.

"It means that the eight blocks are targeted by the end of September or early October [contract signature]," he said.

IN INDONESIA

Ada Faktor Ketidakpastian

Pemerintah perlu menyelesain Faktor ketidakpastian kendati sudah melakukan revisi aturan kontrak bagi hasil dengan memperluas ruang penambahan bagi hasil atau split bagi kontraktor.

Kementerian ESDM lelah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM N0. 52/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri ESDM No. 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Bryan C Land, Lead Extractives Specialist World Bank, mengatakan pemerintah masih perlu membereskan aspek lainnya yang membuat faktor kepastian berusaha menurun.

“Saya menegaskan bersamaan dengan perubahan fiskal, aspek nonfiskal lain juga sangat penting. Jadi, kami mendengar dari sesi tanya jawab, perusahaan-perusahaan migas benarnya tentang kondisi jika semakin banyak kondisi itu diselesaikan, akan semakin baik dan hal itu merupakan tantangan yang sama bagi setiap negara,” ujarnya dalam sesi sosialisasi, Jumat (8/9).

Dalam sesi sosialisasi, pelaku usaha mempertanyakan soal mekanisme pengenaan pajak karena bagi hasil yang diperoleh belum termasuk pajak yang ditanggung kontraktor. Padahal seluruh biaya pada kontrak gross split termasuk seluruh pajak yang dikeluarkan tidak lagi bisa dikembalikan melalui skema cost recovery karena pembagian bagian pemerintah dan kontraktor dilakukan secara kotor.

Selain itu, ruang penambahan bagi hasil dari diskresi menteri yang kini tidak lagi dibatasi pun dianggap tidak pasti karena didasarkan dari pertimbangan menteri yang tidak diketahui apa saja faktor yang mempengaruhinya. Faktor ketidakpastian lainnya yang juga masuk dalam daftar pertanyaan yakni mengenai ada tidak aturan yang lebih tinggi mengenai kontrak gross split.

Pertanyaan itu muncul karena kontrak gross split yang hanya diatur dalam bentuk peraturan menteri bisa saja berubah ketika ada pergantian menteri. Namun, Land menegaskan pemerintah telah melakukan perbaikan dengan skema sebelumnya.

Dan 12 lapangan yang menjadi acuan, penerapan gross split hanya memberikan tambahan angka pengembalian investasi (internal rate of return/IRR). Dengan rentang penambahan IRR terendah sebesar 2,1 % hingga yang tertinggi 15,7 %, rata-rata penambahan IRR melalui skema gross split baru lebih besar 6,5 % dari gross split lama.

Dengan skema itu, rerata IRR yang didapatkan pada gross split baru sebesar 28,8% atau lebih tinggi dari rerata IRR pada kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) cost recovery yakni 24,8%.

Berdasarkan data Wood Mackenzie, IRR di Indonesia dengan gross split lama sebesar 22,3% dan PSC cost recovery 24,8%. Data itu menunjukkan skema itu tidak lebih baik dari negara lain seperti Australia dengan 30,4%, Papua Nugini 38,2%, Irlandia 40,3% dan Inggris 41,S%.

“Negara-negara lain dengan iklim investasi yang sama sedang berupaya membuat ketentuan- ketentuan yang lebih menarik. Jadi kami harus melihat," katanya.

PERIZINAN 

Pemerhati energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menilai pemerintah perlu menyelesaikan masalah kemudahan berusaha (ease of doing business) untuk bisa memperbaiki iklim investasi. Dia menyebut perlu ada perbaikan pada perizinan, birokrasi, konsistensi peraturan dan menghormati kontrak yang berjalan (sanctity of contract).

Menurutnya, perubahan ini masih terlalu kecil dampaknya karena hanya menggunakan kondisi sebelumnya yakni Peraturan Menteri ESDM No. 8/2017 sebagai pembanding.

“Untuk sampai ke tahap menarik dan mendatangkan investasi lagi, menurut saya masih perlu pembuktian dan penyelesaian hal-hal atau masalah lain yang menjadi kunci ease of doing business,” katanya.

Seperti diketahui, pemerintah menambah bobot split dan variabel baru yang bisa meningkatkan keekonomian melalui Peraturan Menteri ESDM No. 52/2017. Selain itu, tambahan bagi hasil pun didapatkan di fase awal pengembangan ketika kontraktor belum bisa menikmati hasil produksi.  Kemudian, ruang tambahan bagi hasil dari diskresi menteri pun tidak lagi dibatasi sebesar 5%.

Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengharapkan revisi itu membawa angin segar terhadap investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi.

Namun, dia menilai kerja pemerimah belum usai karena bagi hasil akhir yang didapatkan kontraktor belum termasuk pajak. Menurutnya, faktor pajak yang belum pasti bisa menggoyah upaya pemerintah untuk memperbaiki keekonomian pengembangan lapangan melalui penambahan bagi hasil.

“Kami meminta agar mekanisme perpajakan diperjelas dan meminta pemerintah agar tidak menambah ruang ketidakpastian lainnya yang bisa bertentangan dengan kinerja positif yang telah dilakukan pada gross split,” tuturnya.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Gunung Sardjono Hadi mengatakan perbaikan itu cukup membantu khususnya dalam pengelolaan blok habis kontrak yang ditugaskan kepada Pertamina.

Bila terdapat perubahan kondisi yang membuat keekonomian pengembangan lapangan susut, dua hal yang akan dilakukan yakni efisiensi biaya juga usulan tambahan split dari diskresi menteri.

“Roomnya dua, yang under control kita adalah cost efficiency, yang kedua kita bisa minta tambahan [dari diskresi menteri],” katanya.

Adapun, proposal untuk kontrak baru pada delapan wilayah kerja yang habis kontrak telah disampaikan kepada pemerintah. Menurutnya, kontrak baru ditargetkan bisa diteken pada akhir September atau awal Oktober tahun ini.

"Artinya delapan blok itu targetnya akhir September atau awal Oktober [tanda tangan kontrak]," tuturnya.

Bisnis Indonesia, Page-28, Monday, Sept 11, 2017

US Oil Production & Demand Drops

The threat of hurricane Irma and the decline in the number of rigs operating in the United States lowered WTI oil prices to as low as US $ 47.48 per barrel by the end of Friday's trading (8/9).

At the close of trade Friday (8/9), WTI oil price of the most active contract in October 2017 fell 1.61 points or 3.28% to US $ 47.48 per barrel. Meanwhile, the price of Brent oil the most active contract in November 2017 fell 0.71 points or 1.30% to US $ 53.78 per barrel.

Eugen Weinberg, head of commodity bank commander Eugen Weinberg, said oil prices fell drastically on concern US demand was dampened by Irma storm which is one of the strongest storms projected to hit the US in the near future.

The estimated Irma storm has wind speeds of up to 298 km per hour is the second major storm that threatens Uncle Sam in the past two weeks. Earlier, Harvey storms put the US close to 25% of oil refining capacity and cut about 8% of total oil production.

"Storms have a long-term impact on refinery and industry demand," Weinberg said

Senior Market Analyst for Price Futures Group Phil Flynn said market players were worried about the destruction of US crude demand for a storm. This sentiment makes market participants to sell. In addition to the demand for crude oil, gasoline consumption and 

other transportation fuels will falter due to hurricane Irma, especially in the southeastern United States. The reason, people are reluctant to travel.

On the production side, the number of oil rigs operating in the US has fallen in four consecutive weeks as the storm in some parts of Uncle Sam's territory.

Baker Hughes Incorporated said the number of US oil rigs in the week ending Friday (8/9) reduced three wells to 756 points of drilling. Despite the decline, the number is much higher than the 414 rigs last year, the number of rigs to be an early indicator of rising or falling US oil production volume. Decrease the rig in as Harvei and Irma storms drew oil drilling activity in the US Gulf and Eagle Ford in Texas down, giving rise to a negative sentiment on the prospect of adding US oil production in the short term.

The reason, team analysts Simmons & Co. estimates that the total number of oil and natural gas rigs in the US will continue to increase to 863 rigs by 2017, 932 rigs by 2018, and 1,078 rigs by 2019. Throughout 2017, oil and gas rigs total only 855 wells. The year before, the number of rigs was at the level of 509 wells, down from 2015 by 978 rigs.

Despite announcing production cuts due to the storm, exploration and production companies (E & P) are still planning to spend large capital expenditures. Financial services analyst Cowen & Co said the average E & P company's capital expenditure rose 49% year on year (yoy) in 2017.

As oil drilling increases, U.S. The Energy Information Administration (EIA) said US oil production would reach 9.4 million barrels per day (bpd) by 2017, up 5.62% from 8.9 million bpd in 2016. Next year, production volume will reach record highs , ie 9.9 million bpd.

Natixis estimates that excess supply that overshadow the market to make oil prices tend to be depressed. WTI prices at the end of third and fourth quarter of 2017 tend to stagnate at the level of US $ 47 per barrel, so the average price during this year is only US $ 49 per barrel.

Throughout 2017, the global oil market is estimated to have a surplus of 190,000 bpd. This volume tends to decline because in the quarter I / 201 7 surplus levels reached 970,000 bpd.

IN INDONESIA

Produksi & Permintaan Minyak AS Merosot

     Ancaman badai Irma dan merosotnya jumlah rig yang beroperasi di Amerika Serikat menurunkan harga minyak WTI ke level US$ 47,48 per barel pada akhir perdagangan Jumat (8/9).

Pada penutupan perdagangan Jumat (8/9), harga minyak WTI kontrak teraktif Oktober 2017 turun 1,61 poin atau 3,28% menuju US$ 47,48 per barel. Adapun, harga minyak Brent kontrak teraktif November 2017 turun 0,71 poin atau 1,30% menjadi US$ 53,78 per barel.

Kepala Riset Komoditas Commers bank Eugen Weinberg menuturkan, harga minyak turun drastis karena kekhawatiran menurunnya permintaan AS akibat terjadinya badai Irma yang merupakan salah satu badai paling kuat yang diproyeksi sudah melanda AS dalam waktu dekat ini.

Badai Irma yang diestimasi memiliki kecepatan angin hingga 298 km per jam merupakan badai besar kedua yang mengancam Paman Sam dalam dua pekan terakhir. Sebelumnya, badai Harvey membuat AS menutup sekitar 25 % kapasitas penyulingan minyak dan memangkas sekitar 8% total produksi minyak.

“Badai memiliki dampak yang panjang terhadap permintaan kilang dan industri,” tutur Weinberg

Senior Market Analyst Price Futures Group Phil Flynn menyampaikan, pelaku pasar mengkhawatirkan kehancuran permintaan minyak mentah AS akibat serangan badai. Sentimen ini membuat pelaku pasar melakukan aksi jual. Selain permintaan minyak mentah, konsumsi bensin dan bahan bakar transportasi lainnya akan goyah akibat badai Irma, terutama di wilayah tenggara AS. Pasalnya, masyarakat enggan untuk bepergian.

Di sisi produksi, jumlah rig minyak yang beroperasi di AS turun merosot dalam empat pekan berturut-turut seiring dengan berlangsungnya badai di sejumlah wilayah Paman Sam.

Seperti dikutip dari Reuters, Baker Hughes Incorporated menyebutkan jumlah rig minyak AS dalam sepekan yang berakhir Jumat (8/9) berkurang tiga sumur menjadi 756 titik pengeboran. Kendati berkurang, jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 414 rig pada tahun lalu, Jumlah rig menjadi indikator awal naik atau turunnya volume produksi minyak AS. 

   Penurunan rig disaat serangan badai Harvei dan Irma membuat aktivitas pengeboran minyak di Teluk AS dan Eagle Ford di Texas turun sehingga menimbulkan sentimen negatif terhadap prospek penambahan produksi minyak AS dalam jangka pendek.

Pasalnya, tim analis Simmons & Co. memperkirakan, jumlah total rig minyak dan gas alam di AS akan terus meningkat menjadi 863 rig pada 2017, 932 rig pada 2018, dan 1.078 rig pada 2019. Sepanjang 2017, total rig minyak dan gas hanya mencapai 855 sumur. Tahun Ialu, jumlah rig berada di level 509 sumur, turun dari 2015 sebanyak 978 rig.

Meskipun mengumumkan pemangkasan produksi akibat badai, perusahaan eksplorasi dan produksi (E&P) masih berencana mengeluarkan belanja modal yang besar. Laporan analis jasa keuangan Cowen & Co mengungkapkan, rerata belanja modal 64 perusahaan E&P naik 49% year on year (yoy) pada 2017.

Seiring bertambahnya instalasi pengeboran minyak, U.S. Energy information Administration (EIA) menyebutkan produksi minyak AS akan mencapai 9,4 juta barel per hari (bph) pada 2017 atau naik 5,62% dibandingkan dengan capaian 8,9 juta bph pada 2016. Tahun depan, volume produksi akan mencapai rekor tertinggi, yakni 9,9 juta bph.

Natixis memperkirakan berlebihnya pasokan yang membayangi pasar membuat harga minyak cenderung tertekan. Harga WTI pada akhir kuartal III dan IV 2017 cenderung stagnan di level US$ 47 per barel, sehingga rerata harga sepanjang Tahun ini hanya mencapai US$ 49 per barel.

Sepanjang 2017, pasar minyak global diperkirakan mengalami surplus sejumlah 190.000 bph. Volume ini cenderung menurun karena pada kuartal I /201 7 tingkat surplus mencapai 970.000 bph.

Bisnis Indonesia, Page-16, Monday, Sept 11, 2017

Case of PGN Entry Extension Examination

The Business Competition Supervisory Commission (KPPU) affirmed that the proceedings of the alleged monopoly case in determining the price of industrial gas in the Medan area are still continuing and are currently entering the extension stage of further investigation. 

     Case involving PT Perusahaan Gas Nusantara Tbk. (PGN) is registered with register 09 / KPPU-L / 2016 concerning Alleged Violation of Article 17 of Law Number 5 Year 1999 related to Monopoly Practices in Determining Industrial Gas Price in Medan Area.

"The evidentiary process continues in the trial. The presence or absence of a monopoly in gas distribution in North Sumatra is still being tested in court. The decision will be decided by the Commission Council, "KPPU Commissioner Saidah Sakwan said in a press statement on Sunday (10/9).

Saidah said the alleged trial of gas monopoly case conducted by PT PGN until now is in the extension stage of further investigation. Position of PGN as BUMN has also become a weighing side in solving this case.

This alleged gas monopoly case began to emerge after a complaint from businessmen about the problem of industrial gas distribution in North Sumatra. The issue of gas distribution concerns the increasingly minimal supply or still far from the user needs, as well as the problem of high gas prices.

"If this distribution is a government assignment, there must be a regulatory basis [monopoly by law]. But, even so, if the holder of this mandate does a monopoly practice it can still be subject to violations of Law no. 5/1999, "added Saidah.

Based on preliminary investigation investigations, there have been several indications of alleged monopolistic practices in industrial gas distribution in North Sumatra. Such indications are that the company controls 100% of the market share of gas users so it is possible to take advantage of its dominant position.

The state-owned company can also set unilaterally the selling price of gas even without the customer's consent, as well as clauses in the unbalanced contract of sale and purchase of gas (PJBG), burdening consumers.

These findings are being tested by the panel of commissions in the trial process at the stage of extension of follow-up examination which will end on October 5, 2017 to prove the existence or absence of monopolistic practices.

"The Commission Assembly in the examination and decision-making independent and can not be intervened by any party including members of other commissions outside the assembly," he added.

Previously, lawyer of PT PGN Yahdi Salampessy said gas purchase price was determined by the regulator and can not be determined by the company itself. Moreover, the company gets gas supply from several parties, one of them is PT Pertamina EP.

"The gas sales topology is not like a retail product. The price sold to consumers is already one price [in an area], although the supply comes from several parties, "he said.

PGN claims it is inappropriate that the company violated Article 17 of Law no. 5 of 1999 in determining the price of industrial gas in Medan area and considered not in accordance with the facts and rules that apply.

According to Yahdi, as a resource that controls the livelihood of many people, the price of natural gas fuel based on the provisions of legislation is not submitted to the mechanism of fair and reasonable business competition. It is based on Article 33 paragraph (2) of the 1945 Constitution.

PGN also admitted to always comply with Government Regulation no. 30 of 2009 and Regulation of the Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) no. 21 of 2008 concerning Guidelines on the Pricing of Selling of Fuel Oil and Gas.

"With regard to the existing guidelines, we can not be said to commit unfair business competition because in Law No. 5/1999 it is explained that what we do is excluded in the provisions of the law," he said.

Article 50 letter (a) of Law no. S / 1999 states, which is exempted from the provisions is an act and or agreement that aims to implement the applicable legislation.

As an illustration, the structure of gas selling price in Medan is influenced by several components. First, the upstream gas price component in which the Medan gas supply source is taken from Bontang refinery which is then regasified through PT Pertamina's facilities in Arun, Aceh.

Once classified, the gas is channeled through the transmission pipeline Arun-Belawan owned by Pertamina Gas (Pertagas) along the 350 km. Apart from Bontang, gas supply to Medan is also obtained from the production of Pertamina EP which is transported through the gas pipeline of the Milk-Wampu gas pipeline run by Pertagas.

IN INDONESIA

Kasus PGN Masuk Perpanjangan Pemeriksaan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan proses persidangan perkara dugaan monopoli dalam penentuan harga gas industri di area Medan masih berlanjut dan saat ini masuk tahap perpanjangan pemeriksaan lanjutan. 

     Perkara yang melibatkan PT Perusahaan Gas Nusantara Tbk. (PGN) itu terdaftar dengan register 09/KPPU-L/2016 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 terkait Praktek Monopoli dalam Penentuan Harga Gas lndustri di Area Medan.

“Proses pembuktiannya terus berjalan di dalam persidangan. Ada tidaknya monopoli dalam distribusi gas di Sumatra Utara ini masih diuji di persidangan. Keputusannya nanti akan ditetapkan oleh Majelis Komisi,” kata Komisioner KPPU Saidah Sakwan, dalam keterangan pers, Minggu (10/9).

Saidah mengatakan sidang perkara dugaan monopoli gas yang dilakukan PT PGN sampai kini dalam tahap perpanjangan pemeriksaan lanjutan. Posisi PGN selaku BUMN juga telah menjadi penimbangan pihaknya dalam menyelesaikan perkara ini.

Perkara dugaan monopoli gas ini mulai muncul setelah ada keluhan dari kalangan pengusaha mengenai permasalahan pendistribusian gas industri di Sumatra Utara. Persoalan distribusi gas ini menyangkut pasokan yang semakin minim atau masih jauh dari yang dibutuhkan pengguna, serta masalah tingginya harga jual gas.

“Kalau distribusi ini merupakan penugasan pemerintah, tentu harus ada basis regulasinya [monopoly by law]. Tapi, walaupun demikian, jika pemegang mandat ini melakukan praktik monopoli tetap saja bisa terkena pelanggaran UU No. 5/ 1999,” tambah Saidah.

Berdasarkan penyelidikan awal investigator, telah ditemukan sejumlah indikasi terjadinya dugaan praktik monopoli dalam pendistribusian gas industri di Sumatra Utara. Indikasi tersebut di antaranya, perseroan menguasai 100% pangsa pasar pengguna gas sehingga sangat mungkin untuk memanfaatkan posisi dominannya.

Perusahaan pelat merah ini juga dapat menetapkan harga jual gas secara sepihak meskipun tanpa persetujuan pelanggan, serta adanya klausul dalam kontrak perjanjian jual beli gas (PJBG) yang tidak seimbang sehingga memberatkan konsumen. 

Temuan-temuan inilah yang sedang diuji oleh majelis komisi dalam proses persidangan di tahap perpanjangan pemeriksaan lanjutan yang akan berakhir pada 5 Oktober 2017 untuk membuktikan ada atau tidaknya praktik monopoli.

“Majelis Komisi dalam pemeriksaan dan pengambilan putusan independen dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun termasuk anggota komisi lainnya di luar majelis,” tambahnya.

Sebelumnya, kuasa hukum PT PGN Yahdi Salampessy mengatakan harga jual beli gas sudah ditentukan oleh regulator serta tidak bisa ditentukan sendiri oleh perusahaan. Terlebih lagi perseroan mendapatkan pasokan gas dari beberapa pihak, salah satunya PT Pertamina EP.

“Topologi penjualan gas itu bukan seperti produk eceran. Harga yang dijual ke konsumen memang sudah satu harga [di suatu wilayah], walaupun pasokannya berasal dari beberapa pihak,” tuturnya.

PGN mengklaim tidak tepat bahwa perusahaan melanggar Pasal 17 UU No. 5 tahun 1999 dalam penentuan harga gas industri di area Medan dan dinilai tidak sesuai dengan fakta dan aturan yang berlaku.

Menurut Yahdi, sebagai sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka harga bahan bakar gas bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Hal itu berdasarkan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945.

PGN juga mengaku selalu patuh dengan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 21 Tahun 2008 tentang Pedoman Penetapan Harga Jual bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi.

"Terhadap pedoman yang ada, kami tidak bisa dikatakan melakukan pelanggaran persaingan usaha yang tidak sehat. Karena dalam Undang-Undang No.5/1999 sudah diterangkan, apa yang kami lakukan dikecualikan dalam ketentuan perundangan tersebut,” katanya.

Pasal 50 huruf (a) UU No. S/1999 menyebutkan, yang dikecualikan dari ketentuan adalah perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai gambaran, struktur pembentukkan harga jual gas di Medan dipengaruhi oleh beberapa komponen. Pertama, komponen harga gas hulu (upstream) di mana sumber pasokan gas Medan diambil dari kilang Bontang yang kemudian diregasifikan melalui fasilitas milik PT Pertamina di Arun, Aceh.

Setelah diregasifikasi, gas tersebut disalurkan melalui pipa transmisi Arun-Belawan milik PT Pertamina Gas (Pertagas) sepanjang 350 km. Selain dari Bontang, pasokan gas ke Medan juga diperoleh dari produksi Pertamina EP yang diangkut melalui pipa transmisi gas bumi Pangkaian Susu-Wampu yang dikelola Pertagas.

Bisnis Indonesia, Page-11, Monday, Sept 11, 2017