google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Saudi Aramco -->

Wikipedia

Search results

Showing posts with label Saudi Aramco. Show all posts
Showing posts with label Saudi Aramco. Show all posts

Wednesday, February 5, 2020

Pertamina-OOG Discontinues Cooperation in Build Bontang Refinery



PT Pertamina (Persero) did not continue to work with the oil and gas company from Oman, Overseas Oil and Gas (OOG) Llc, in working on a new refinery with a capacity of 300 thousand barrels per day (BPD) in Bontang, East Kalimantan. Pertamina is now looking for new partners to complete the project.

Overseas Oil and Gas (OOG)

This was known in a meeting between Pertamina and the House of Representatives Commission VI on Monday (3/2). In his presentation, Pertamina reported the development of the Bontang refinery development in which the proposed Regional Spatial Plan (RSP/RTRW) had been submitted to the local regional government.

However, the company also said that the framework agreement / FWA agreement with partners had ended. The intended partner is OOG. FWA is the basis for both companies to form a joint venture / JV. This FWA is valid for 12 months. Therefore, the company formation between Pertamina and OOG should have been completed at the end of 2019. One of the things discussed in the formation of the JV is the share ownership of each company.



Pertamina Megaprocess Processing and Petrochemical Director Ignatius Tallulembang confirmed that cooperation with OOG did not continue. Furthermore, he will look for new partners in building the refinery project.

"We are open [looking for new partners]. But with Oman, we have [not continued], "he said in Jakarta.

In fact, according to Pertamina's data, the Bontang Refinery Project is targeted to start operating in the next five years or in February 2025. So far, OOG has signed a memorandum of understanding with PT Meta Epsi and PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA) to build the Bontang Refinery facility. The two companies will build supporting facilities (outside battery limit / OSBL), such as pipes, water treatment facilities, and fabrication.

In addition, OOG has also conducted open bidding in Singapore to engineering companies with a good reputation for conducting a financial feasibility study on 30 April 2019. This study will be used as a reference by lenders and banks to participate in funding the new refinery project.

The Bontang refinery requires a total investment of between the US $ 10-15 billion. In contrast to the cooperation between Pertamina and Rosneft Oil Company, for the Bontang Refinery Project, the funding needed to build the refinery is fully borne by OOG. While Pertamina obtained a 10% golden share as well as offtake of several products. The shareholding of this company can be increased.

Luhut Binsar Pandjaitan

Signals of continued cooperation with OOG have been voiced by the Coordinating Minister for Maritime Affairs and Investment Luhut Binsar Pandjaitan. The project partner at that time Luhut revealed that it could also be replaced if the performance was not good. The reason is, even though the project has been agreed since a few years ago this project has not yet been completed.


"What [Omani] company we want to find is a possible partner with Abu Dhabi, ADNOC or whatever," he said.

However, in fact, the oil and gas company from the United Arab Emirates actually did not enter the Bontang Refinery Project. The Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC) agreed to explore further the potential of developing the Integrated Petrochemical Refinery Complex in Balongan, West Java. Pertamina and Adnoc signed a memorandum of understanding at the end of last year.

Mubadala Petroleum

While Mubadala Investment Company, a financial investment company from the United Arab Emirates (UAE), is interested in becoming an investor in the Balikpapan Refinery Project worth the US $ 5.5 billion. Pertamina has signed a principle agreement or Refinery Investment Principle Agreement to further evaluate investment cooperation opportunities in the processing sector.

Saudi Aramco

The agreement will provide a clear structure to ensure cooperation as a pathway to potential joint investment. Not only Bontang Refinery, but Pertamina also does not have an agreement with Saudi Aramco regarding the continued cooperation in capacity building and upgrading of the Cilacap Refinery.

After the asset valuation polemic that never ended, the two agreed to change the cooperation scheme into a lease. Under this scheme, Pertamina will pay the rental fees for the joint venture with Saudi Aramco which is building a new refinery unit at the Cilacap Refinery Complex. While the refinery unit which is currently in operation remains the property of Pertamina.

Nicke Widyawati

"The target is that we will agree to a leasing agreement within the next month. And if this happens, then the deal will happen, after that, we will carry out development, "said Pertamina President Director Nicke Widyawati.

The Bontang and Cilacap refineries are part of the six refinery projects developed by Pertamina. In addition to the Bontang refinery, another new refinery project developed by the company is Tuban Refinery in East Java. While the upgrading projects undertaken by other companies are in Balikapapan, East Kalimantan, in Balongan, West Java, and Dumai, Riau.

Arifin Tasrif 

Previously, Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arifin Tasrif encouraged the speeding of the refinery project undertaken by Pertamina. The refinery upgrading project is expected to start operating in the second period of President Joko Widoro's government. While the new refinery project has at least begun the construction phase.

IN INDONESIA

Pertamina-OOG Tidak Lanjutkan Kerja Sama Membangun Kilang Bontang

PT Pertamina (Persero) tidak melanjutkan kerja sama dengan perusahaan minyak dan gas dari Oman, Overseas Oil and Gas (OOG) Llc, dalam mengerjakan kilang baru berkapasitas 300 ribu barel per hari (bph) di Bontang, Kalimantan Timur. Pertamina kini mencari mitra baru untuk merampungkan proyek tersebut.

Hal ini diketahui dalam rapat antara Pertamina dan Komisi VI DPR RI pada Senin (3/2) lalu. Dalam presentasinya, Pertamina melaporkan perkembangan pembangunan Kilang Bontang di mana usulan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah disampaikan kepada pemerintah daerah setempat. 

Namun, perseroan juga menyampaikan bahwa kesepakatan frame work agreement/FWA dengan mitra telah berakhir. Mitra yang dimaksud adalah OOG. FWA merupakan dasar bagi kedua perusahaan untuk membentuk joint venture/JV. FWA ini berlaku selama 12 bulan. Sehingga, seharusnya pembentukan perusahaan antara Pertamina dan OOG ini rampung di akhir 2019 lalu. Salah satu hal yang dibahas dalam pembentukan JV adalah kepemilikan saham masing-masing perusahaan.

Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Ignatius Tallulembang membenarkan bahwa kerja sama dengan OOG tidak berlanjut. Selanjutnya, pihaknya akan mencari mitra baru dalam membangun proyek kilang tersebut.

“Kami open [cari mitra baru]. Tetapi dengan Oman, kami sudah [tidak dilanjutkan],” kata dia di Jakarta.

Padahal, mengacu data Pertamina, Proyek Kilang Bontang ditargetkan mulai beroperasi dalam lima tahun ke depan atau pada Februari 2025. Sejauh ini, OOG telah menandatangani nota kesepahaman dengan PT Meta Epsi dan PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA) untuk membangun fasilitas Kilang Bontang. Kedua perusahaan ini akan membangun fasilitas pendukung (outside battery limit/OSBL), seperti pipa, fasilitas water treatment, dan fabrikasi. 

Selain itu, OOG juga telah melakukan open bidding di Singapura kepada perusahaan engineering dengan reputasi bagus untuk melakukan kajian kelayakan finansial pada 30 April 2019. Kajian ini akan digunakan sebagai acuan oleh para pemberi pinjaman dan perbankan untuk turut serta mendanai proyek kilang baru tersebut.

Kilang Bontang membutuhkan total investasi antara US$ 10-15 miliar. Berbeda dengan kerja sama Pertamina dan Rosneft Oil Company, untuk Proyek Kilang Bontang, pendanaan yang dibutuhkan dalam membangun kilang ditanggung sepenuhnya oleh OOG. Sementara Pertamina memperoleh golden share 10% sekaligus sebagai offtaker beberapa produk. Bagian kepemilikan saham perseroan ini dapat ditingkatkan.

Sinyal tidak berlanjutnya kerja sama dengan OOG ini pernah disuarakan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Mitra proyek ini saat itu Luhut mengungkapkan juga dapat diganti jika kinerjanya tidak bagus. Pasalnya, meski proyek sudah disepakati sejak beberapa tahun lalu proyek ini belum juga rampung.

“Yang [perusahaan] Oman kami mau carikan mitra mungkin dengan Abu Dhabi, ADNOC atau mana,” kata dia.

Namun, nyatanya, perusahaan minyak dan gas asal Uni Emirat Arab itu justru tidak masuk ke Proyek Kilang Bontang. Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC) sepakat mendalami lebih lanjut potensi pengembangan Kompleks Kilang Terintegrasi Petrokimia di Balongan, Jawa Barat. Pertamina dan Adnoc telah menandatangani nota kesepahaman pada akhir tahun lalu.

Sementara Mubadala Investment Company, perusahaan investasi keuangan dari Uni Emirat Arab (UEA), berminat menjadi investor dalam Proyek Kilang Balikpapan senilai US$ 5,5 miliar. Pertamina telah meneken perjanjian prinsip atau Refinery Investment Principle Agreement untuk mengevaluasi lebih lanjut peluang kerja sama investasi di sektor pengolahan. 

Perjanjian tersebut akan memberikan struktur yang jelas untuk memastikan kerja sama sebagai jalur menuju investasi bersama yang potensial. Tidak hanya Kilang Bontang, Pertamina juga belum memiliki kesepakatan dengan Saudi Aramco terkait kelanjutan kerja sama peningkatan kapasitas dan perbaikan (upgrading) Kilang Cilacap. 

Setelah polemik valuasi aset yang tidak kunjung usai, keduanya sepakat mengubah skema kerja sama menjadi sewa. Dalam skema ini, Pertamina akan membayar biaya sewa terhadap perusahaan patungan dengan Saudi Aramco yang membangun kilang unit baru di Komplek Kilang Cilacap. Sementara unit kilang yang saat ini sudah beroperasi tetap menjadi milik Pertamina.

“Targetnya, kami dalam maksimum satu bulan ke depan akan menyepakati leasing agreement. Dan kalau ini terjadi, maka deal itu akan terjadi, setelah itu kami akan melakukan pembangunan,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.

Kilang Bontang dan Cilacap merupakan bagian dari enam proyek kilang yang dibangun Pertamina. Selain Kilang Bontang, proyek kilang baru lainnya yang dibangun perseroan yakni Kilang Tuban di Jawa Timur. Sementara proyek upgrading yang dikerjakan perseroan lainnya adalah di Balikapapan, Kalimantan Timur, di Balongan, Jawa Barat, dan Dumai, Riau. 

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mendorong percepat proyek kilang yang dikerjakan oleh Pertamina. Untuk proyek upgrading kilang, diharapkan sudah mulai beroperasi di periode kedua pemerintah Presiden Joko Widoro ini. Sementara proyek kilang baru setidaknya sudah mulai tahap konstruksi.

Investor Daily, Page-9, Wednesday, Feb 5, 2020

Monday, February 3, 2020

February, Cilacap Refinery Agreement Targets Complete



PT Pertamina (Persero) is targeting an agreement with Saudi Aramco regarding the Cilacap Refinery to be completed within the next month. The construction of the refinery project will also be accelerated until it only takes three years.

Nicke Widyawati

Pertamina President Director Nicke Widyawati said that his party and Saudi Aramco had agreed to change the cooperation scheme in the work of the Cilacap Refinery Project. The project will be carried out with the same scheme used in the Balikpapan Refinery Project, which is rent.



Under this scheme, Pertamina will pay the rental fees for the joint venture with Saudi Aramco which is building a new refinery unit at the Cilacap Refinery Complex. While the refinery unit which is currently in operation remains the property of Pertamina. Because there is no asset spin-off, there is no need for an existing asset valuation agreement.

"The target is that we will agree to a leasing agreement within the next one month. And if this happens, then the deal will happen, after that, we will carry out development, "said Nicke Widyawati in Jakarta.

Nicke Widyawati

Nicke Widyawati explained that the change in the scheme was because the two state-owned oil and gas companies did not immediately reach an agreement on the valuation of the existing refinery assets. 

     Until the last discussion, the difference between the valuations calculated by Pertamina and Saudi Aramco was still large. On the other hand, Pertamina has a book value as a minimum limit to release (spin-off) assets.

"This offered by Saudi Aramco is far lower than the book value. If this is done, there will be a loss, so it can't be. We have told Saudi Aramco that there is a limit on book value as a minimum, "said Nicke.

This consideration is only in terms of the fiscal value of the Cilacap Refinery. In terms of fuel production, the Cilacap refinery currently produces more than 30% of total national fuel production. Therefore it cannot release the refinery assets below book value as offered by Saudi Aramco.



Under the new scheme, the Pertamina-Saudi joint venture Aramco will build a new refinery unit. Later this new unit will increase the capacity of the Cilacap Refinery from the current 349 thousand Barrels Per Day (BPD) to 400 thousand BPD. If there is still no agreement with Saudi Aramco, it will work on the refinery project and will look for new partners when the development process is already underway.

"If Aramco does not agree, we will continue on our own," said Nicke.

It also seeks to speed up the construction of the Cilacap Refinery, which normally takes four years. One of them will combine the detailed contract design (front end engineering design / FEED) and engineering, procurement, and construction (engineering, procurement, and construction / EPC). This has been done by the company for the Balongan Refinery Project.

"With this mechanism, we can accelerate [the construction period] by 14 months. We propose this to our partners [in the refinery project], "said Nicke.

The Cilacap refinery is targeted to start operating in 2025. After upgrading, there will be an additional production of 80 thousand BPD of gasoline, 60 thousand BPD of diesel fuel, and aviation fuel of 40 thousand BPD. Fuel production increased significantly because the ability of refineries to process crude oil into ready-to-sell products (NCI) rose from 74% to 92-98%.

IN INDONESIA

Februari, Kesepakatan Kilang Cilacap Ditargetkan Rampung

PT Pertamina (Persero) menargetkan kesepakatan dengan Saudi Aramco terkait Kilang Cilacap dapat rampung dalam satu bulan ke depan. Konstruksi proyek kilang ini juga akan dipercepat hingga hanya memerlukan waktu tiga tahun. 

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya dan Saudi Aramco telah menyepakati perubahan skema kerja sama dalam pengerjaan Proyek Kilang Cilacap. Proyek tersebut akan dikerjakan dengan skema yang sama yang dipakai di Proyek Kilang Balikpapan, yakni sewa. 

Dalam skema ini Pertamina akan membayar biaya sewa terhadap perusahaan patungan dengan Saudi Aramco yang membangun kilang unit baru di Komplek Kilang Cilacap. Sementara unit kilang yang saat ini sudah beroperasi tetap menjadi milik Pertamina. Lantaran tidak ada spin off aset, maka tidak perlu ada kesepakatan valuasi aset yang ada.

“Targetnya, kami dalam maksimum satu bulan ke depan akan menyepakati leasing agreement. Dan kalau ini terjadi, maka deal itu akan terjadi, setelah itu kami akan melakukan pembangunan,” kata Nicke Widyawati di Jakarta.

Nicke Widyawati menjelaskan, perubahan skema ini lantaran kedua perusahaan minyak dan gas milik negera ini tidak segera mencapai kesepakatan valuasi aset kilang eksisting. Hingga diskusi terakhir, selisih antara valuasi yang dihitung Pertamina dan Saudi Aramco masih sabgar besar. Di sisi lain Pertamina memiliki nilai buku sebagai batas minimum untuk melepas (spin off) aset.

“Ini yang ditawar oleh Saudi Aramco jauh lebih rendah dari nilai buku. Kalau ini dilakukan, maka akan ada kerugian, jadi tidak bisa. Kami sudah sampaikan ke Saudi Aramco bahwa ada batasan nilai buku sebagai batasan minimal,” papar Nicke.

Pertimbangan itu hanya dari sisi nilai fiskal Kilang Cilacap. Dari sisi produksi bahan bakar minyak (BBM), Kilang Cilacap saat ini memproduksi lebih dari 30% dari total produksi BBM nasional. Karenanya pihaknya tidak bisa melepas aset kilang di bawah nilai buku seperti yang ditawar Saudi Aramco. 

Pada skema baru, perusahaan patungan Pertamina-Saudi Aramco akan membangun kilang unit baru. Nantinya unit baru ini akan menambah kapasitas Kilang Cilacap dari saat ini 349 ribu barel per hari (bph) menjadi 400 ribu bph. Jika tetap tidak ada kesepakatan dengan Saudi Aramco, pihaknya akan menggarap proyek kilang ini dan akan mencari mitra baru saat proses pengembangan sudah berlangsung.

“Kalau Aramco tidak setuju, kami lanjut sendiri,” tegas Nicke.

Pihaknya juga berupaya mempercepat konstruksi Kilang Cilacap yang biasanya membutuhkan waktu empat tahun. Salah satunya pihaknya akan menggabungkan kontrak desain rinci (front end engineering design/FEED) dan rekayasa, pengadaan, dan konsturksi (engineering, procurement, and construction/EPC). Hal ini sudah dilakukan perseroan untuk Proyek Kilang Balongan.

“Dengan mekanisme ini, kami bisa percepat [masa konstruksi] 14 bulan. Ini kami propose ke partner-partner kami [dalam proyek kilang],” ujar Nicke. 

Kilang Cilacap ditargetkan mulai beroperasi pada 2025. Pasca upgrading, akan ada tambahan produksi bensin (gasoline) 80 ribu bph, solar 60 ribu bph, dan avtur 40 ribu bph. Produksi bahan bakar naik signifikan karena kemampuan kilang mengolah minyak mentah menjadi produk siap jual (NCI) naik dari 74% menjadi 92-98%.

Investor Daily, Page-9, Monday, Feb 3, 2020

Thursday, January 30, 2020

DPR ‘knows’ Oil and gas mafia: Pertamina boss certainly knows



PT Pertamina (Persero) officials are believed to recognize oil and gas, mafia perpetrators. President Joko Widodo (Jokowi) was also advised to eradicate the oil and gas mafia through Pertamina's bosses. House of Representatives Commission VII member Dr. Ir Kardaya Warnika DEA assessed the practice of oil and gas mafia can actually be felt. But to find its existence is fairly difficult.

"When it comes to the oil and gas mafia, I always say it smells like a fart, smells, but if you look at it, someone who farts is difficult, but it feels there," he said.

oil and gas mafia

According to Kardaya, the practice of oil and gas mafia is difficult to investigate because most of them act in accordance with existing regulations. But they take advantage of the gaps in the applicable provisions.

"The oil and gas mafia sees an opportunity if the purchase of oil feels more expensive than it should be, well that is a sign. Actually, the oil and gas mafia is hard to see because they work according to the regulations, so it's legal. But they are exploiting loopholes in existing regulations, "he added.

He gave an example, for example, there are oil and gas projects that are participated by several companies. If traced it turns out that the parent of the holding companies participating in the tender is one party. With such a practice, Kardaya believes Pertamina officials as the BUMN and the largest oil and gas company in Indonesia know and are familiar with oil and gas mafia players.

"Actually, the Pertamina boss certainly knows that. They, oil and gas mafia usually have good relations with Pertamina officials, "he said.

Therefore, he suggested Jokowi summon Pertamina officials. Forced to stop the practice of oil and gas mafia then threaten to be removed from his position if it is not done.

"The president has said first he wants to eradicate the mafia. Secondly, he says he knows who is playing, in my opinion just call it Managing Director with Pertamina's Chief Commissioner. No need to talk out, I know this is someone who plays, I do not want to know this practice must be lost, if it does not disappear then sanctions will be removed, "he explained.

"Because the official was afraid of only one, namely losing his position, by God alone the official was not afraid, after being sworn in the official did something strange," Kardaya concluded.

Evidence of the Mafia Oil and gas refineries were not immediately built

Previously, according to a count of the official governance reform team led by Faisal Basri when dismantling the official mafia practices in 2014-2015 in Petral's body, it was known that oil importers could get USD 1 to USD 3 from each barrel of oil imports into Indonesia. This is Evidence There is an oil and gas mafia.

The President Jokowi

Regarding the oil and gas mafia, the Jokowi government is now again making efforts to eradicate it. So what is the proof that the oil and gas mafia is still hanging around? Energy Economics Observer from Gadjah Mada University (UGM) Fahmy Radhi said, one proof of the oil and gas mafia was the absence of oil and gas refinery development.

Saudi Aramco

"There is a systemic effort blocking the construction of refineries. It was also complained by Jokowi, Pertamina had not built a refinery in 35 years, even though there were also many investors such as Saudi Aramco, there was Russian Rosneft, there was OOG (Overseas Oil & Gas) Oman, it had been in the framework of signing a framework agreement, but until now there were none which can be realized, "he said.

Rosneft

Fahmi who was once the Anti-Mafia Oil and Gas Team which was once chaired by Faisal Basri, believes that the oil and gas mafia is closely related to imports. They can continue to live if Indonesia continues to import oil and gas, so they do various ways to prevent it.

"So if based on our findings first, then looking at current symptoms, one of the indicators is indeed an increase in oil and gas imports, and the oil and gas mafia playing in the import route earlier, hunting rent in imports" he added.

The amount of oil and gas imports has indeed become Jokowi's concern. The President claimed to have known the name of the mastermind behind the import of oil and gas which reached 800 thousand barrels per day.

IN INDONESIA

DPR ‘Tahu’ Mafia Migas: Bos Pertamina Pasti Tahu

Para petinggi PT Pertamina (Persero) diyakini mengenali para pelaku mafia minyak dan gas. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun disarankan memberantas mafia migas melalui para bos Pertamina. Anggota Komisi VII DPR Dr Ir Kardaya Warnika DEA menilai praktik mafia migas sebenarnya bisa dirasakan. Namun untuk mencari keberadaannya memang terbilang sulit.

“Kalau tentang mafia minyak dan gas itu saya selalu mengatakan ini seperti bau kentut, tercium tapi kalau dilihat siapa yang kentut susah, tapi dirasakan ada,” ujarnya.

Menurut Kardaya, praktik mafia minyak dan gas sulit diselidik lantaran kebanyakan dari mereka beraksi mengikuti peraturan yang ada. Namun mereka memanfaatkan celah-celah dari ketentuan yang berlaku.

“Mafia minyak dan gas ini melihat peluang kalau pembelian minyak terasa lebih mahal dari yang semestinya, nah itulah tanda-tandanya. Sebetulnya mafia minyak dan gas ini susah dilihat karena mereka bekerja mengikuti peraturan ketentuan, ya legal saja. Tapi mereka memanfaatkan celah-celah dari peraturan yang ada,” tambahnya.

Dia mencontohkan, misalnya ada proyek minyak dan gas yang diikuti oleh beberapa perusahaan. Jika ditelusuri ternyata induk dari induk perusahaan-perusahaan yang ikut tender merupakan satu pihak. Dengan praktik seperti itu, Kardaya yakin petinggi Pertamina selaku BUMN dan perusahaan migas terbesar di Indonesia tahu dan kenal dengan para pelaku mafia minyak dan gas.

“Sebetulnya bos Pertamina pasti tahu itu. Mereka mafia minyak dan gas biasanya mempunyai hubungan yang baik dengan petinggi Pertamina,” tutur dia.

Oleh karena itu dia menyarankan Jokowi untuk memanggil para petinggi Pertamina. Paksa untuk menyetop praktik mafia minyak dan gas lalu ancam copot dari jabatannya jika itu tidak dilakukan.

“Presiden sudah mengatakan pertama dia ingin memberantas mafia. Kedua dia mengatakan dia tahu siapa yang bermain, menurut saya ya tinggal panggil saja
Direktur Utama bersama Komisaris Utama Pertamina. Tidak perlu bicara keluar, saya tahu ini orang yang bermain, saya tidak mau tahu praktik ini harus hilang, kalau tidak hilang maka sanksinya ya dicopot,” terangnya.

“Karena pejabat itu takutnya hanya satu, yaitu kehilangan jabatan, dengan tuhan saja pejabat tidak takut, setelah disumpah pejabat itu melakukan hal aneh-aneh,” tutup Kardaya.

Bukti Mafia Minyak dan gas, kilang tidak segera dibangun

Sebelumnya menurut hitungan tim reformasi tata kelola pejabat yang dipimpin Faisal Basri sewaktu membongkar praktik mafia pejabat pada 2014-2015 lalu di tubuh Petral, diketahui para importir minyak ini bisa mendapatkan USD 1 sampai USD 3 dari tiap barel impor minyak ke Indonesia. Ini Bukti Ada Mafia minyak dan gas. 

Terkait mafia minyak dan gas kini pemerintahan Jokowi kembali melakukan upaya untuk memberantasnya. Lantas apa buktinya mafia minyak dan gas masih berkeliaran? Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, salah satu bukti adanya mafia minyak dan gas adalah tidak adanya pembangunan kilang minyak dan gas.

“Ada upaya sistemik menghalangi pembangunan kilang. Itu kan dikeluhkan Jokowi juga, sudah 35 tahun Pertamina tidak membangun kilang, padahal banyak juga investor seperti Saudi Aramco, ada Rosneft Rusia, ada OOG (Overseas Oil & Gas) Oman itu sudah dalam tahap penandatanganan framework agreement, tapi sampai sekarang tidak ada satu pun yang bisa direalisasikan,” tuturnya.

Fahmi yang pernah menjadi Tim Anti Mafia minyak dan gas yang pernah diketuai oleh Faisal Basri, meyakini mafia minyak dan gas erat kaitannya dengan impor. Mereka bisa hidup terus jika Indonesia masih terus impor minyak dan gas, oleh karena itu mereka melakukan berbagai cara untuk menghalanginya.

“Jadi kalau berdasarkan pada hasil temuan kami dulu, kemudian melihat gejala sekarang ini, salah satu indikatornya memang peningkatan impor minyak dan gas, dan mafia minyak dan gas bermain di jalur impor tadi, berburu rente di impor" tambahnya.

Besarnya impor minyak dan gas memang sudah menjadi perhatian Jokowi. Presiden mengaku sudah mengetahui nama dalang di balik impor minyak dan gas yang mencapai 800 ribu barel per hari.

Duta Masyarakat, Page-1, Monday, Jan 20, 2020

Monday, January 27, 2020

Abu Dhabi Aims for Energy Sector Investment in Indonesia



Indonesia strengthens relations with the United Arab Emirates (UAE). The two countries agreed on a number of cooperation and investments. Of the 16 agreements, Indonesia and the UAE agreed on five agreements in the fields of religion, education, agriculture, health, and counter-terrorism. While there are 11 business agreements signed by the two countries, covering the fields of energy, oil, and gas, petrochemicals, ports, telecommunications, and research. The total estimated investment value obtained from these 11 agreements reached Rp 314.9 trillion or the US $ 22.89 billion.

The UAE has high confidence in the development of the energy sector business in Indonesia. A total of 11 business agreements have been signed-in part for the energy business, said the Head of the Public Information Services and Cooperation Biro Ministry of Energy and Mineral Resources, Agung Pribadi.

PT Pembangkit Jawa Bali investment (PJBI)

One of the agreements in the business sector is the construction of a floating solar power plant in Cirata Reservoir, West Java. Later, the Masdar renewable energy company (EBT) based in Abu Dhabi UAE, will partner with PT Pembangkit Jawa Bali investment (PJBI) to build Cirata Floating PLTS with a capacity of 145 megawatt peak (MWp).

The investment value in the plant is estimated to reach Rp 1.8 trillion. Cirata Floating PLTS will break the record of the largest solar power plant in the ASEAN region after PLTS in the Philippines, Cadiz Solar Powerplant of 132.5 MW.

In addition to developing EBT-based electricity, Indonesia and the UAE agreed on a number of oil and gas projects such as the development of the Balikpapan RUV V Refinery Development Master Plan (RDMP) between Pertamina and Mubadala.

Later, RDMP RU V Balikpapan will increase refinery processing capacity from 260,000 barrels per day (BPD) to 360,000 BPD and improve product quality from fuel equivalent to Euro II to Euro V. The other agreed cooperation is about developing the potential of crude oil in Balongan between Pertamina and the Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC), to the supply of liquified natural gas (LPG) between the two companies.


In the mineral subsector, Indonesia and the UAE signed a collaboration involving Emirates Global Aluminum (EGA) and PT Indonesia Mahan Aluminum (Mind Id) in the context of increasing the production of ingot alloys and billets.

During the test period (oba, planned additional production is around 20,000 tons with a current normal production capacity of 250,000 tons. In fact, the Middle East investment record in Indonesia is less encouraging and the value is not significant.


For example, the promise of Saudi Aramco, the Saudi oil and gas giant to build a refinery in Cilacap, Central Java, with Pertamina. The plan is not clear because an agreement has not been established. The negotiations between Pertamina and Aramco began in 2014, or have been in vain for six years.

Then there was the Food and Energy Estate project in Merauke (MIFEE) in Papua in 2010. This 2.5 million hectare project is predicted to save IDR 4.7 trillion in foreign exchange through reducing food imports.

Saudi Binladin Group

Saudi Binladin Group, a construction conglomerate from Saudi Arabia, expressed interest in entering the project. There is even a mention of US $ 4 billion worth of investment interest. But until now there has been no continuation of the Bin Ladin Group investment plan.

During President Joko Widodo's visit to Saudi Arabia on 14 ~ 15 April 2019, Prince Muhammad bin Salman expressed interest in a $ 6 billion investment in the oil and gas sector and tourism in Indonesia. But until now there is also no clarity. 

       Previously, during the state visit of Saudi Arabia's King Salman bin Abdul Aziz AL Saud to Indonesia in 2017, the investment was the only US $ 6 billion or Rp 89 trillion. This figure is far from the value of Saudi Arabia's investment in China which reached the US $ 65 billion or Rp870 trillion.

IN INDONESIA

Abu Dhabi Incar Investasi Sektor Energi di Indonesia


Indonesia mempererat hubungan dengan Uni Emirat Arab (UEA). Kedua negara menyepakati sejumlah kerjasama dan Investasi dengan. Dari 16 perjanjian, Indonesia dan UEA menyepakati lima perjanjian di bidang keagamaan, pendidikan, pertanian, kesehatan dan penanggulangan terorisme. Sementara ada 11 perjanjian bisnis yang ditandatangani oleh kedua negara, meliputi bidang energi, minyak dan gas, petrokimia, pelabuhan, telekomunikasi dan riset. Total estimasi nilai investasi yang diperoleh dari 11 perjanjian ini mencapai Rp 314,9 triliun atau US$ 22,89 miliar.

UEA menaruh kepercayaan tinggi terhadap pengembangan bisnis sektor energi di Indonesia. Sebanyak 11 perjanjian bisnis yang berhasil ditandatangani  sebagian untuk bisnis energi, kata Kepala Blro Komunkasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM, Agung Pribadi.

Dari sejumlah kesepakatan di sektor bisnis itu salah satunya adalah pembangunan pembangkit Iistrik tenaga surya (PLTS) Terapung dl Waduk Cirata, Jawa Barat. Kelak, perusahaan energi baru terbarukan (EBT) Masdar yang berbasis di Abu Dhabi UEA, akan bermitra dengan PT Pembangkit Jawa Bali investasi (PJBI) membangun PLTS Terapung Cirata dengan kapasitas 145 mega watt peak (MWp).

Nilai investasi di pembangkit tersebut diperkirakan mencapai Rp 1,8 triliun. PLTS Terapung Cirata bakal memecahkan rekor pembangkit tenaga surya terbesar di kawasan ASEAN setelah PLTS di Filipina, Cadiz Solar Powerplant sebesar 132,5 MW.

Selain pengembangan listrik berbasis EBT, Indonesia dan UEA menyepakati sejumlah proyek migas seperti pengembangan Refinery Development Master Plan (RDMP) RU V Balikpapan antara Pertamina dan Mubadala. 

Kelak, RDMP RU V Balikpapan akan meningkatkan kapasitas pengolahan kilang dari 260.000 barel per hari (bph) menjadi 360.000 bph serta meningkatkan kualitas produk dari BBM setara Euro II menjadi setara Euro V. Adapun kerjasama Iainnya yang disepakati adalah mengenai pengembangan potensi minyak mentah di Balongan antara Pertamina dan Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC), hingga penyediaan liquified natural gas (LPG) antara kedua perusahaan.

Pada subsektor mineral, Indonesia dan UEA menandatangani kerjasama yang melibatkan Emirates Global Aluminium (EGA) dan PT Indonesia Mahan Aluminium (Mind Id) dalam rangka penambahan produksi ingot alloy dan billet. 

Pada masa uji (oba, penambahan produksi direncanakan sekitar 20.000 ton dengan kapasitas produksi normal saat ini 250.000 ton. Sejatinya, catatan investasi TimurTengah di Indonesia kurang begitu menggembirakan dan nilainya belum signifikan. 

Contohnya janji Saudi Aramco, raksasa migas Arab Saudi untuk membangun kilang di CiIacap, Jawa Tengah, bersama Pertamina. Rencana tersebut tidak jelas karena belum terjalin kesepakatan. Negosiasi Pertamina dan Aramco dimulai sejak tahun 2014 alias sudah enam tahun Ialu sia-sia.

Kemudian ada proyek Food and Energy Estate di Merauke (MIFEE) Papua pada tahun 2010 silam. Proyek seluas 2,5 juta hektare ini digadang-gadang bisa menghemat devisa Rp 4,7 triliun melalui Pengurangan impor pangan. 

Saudi Binladin Group, konglomerasi konstruksi asal Arab Saudi, sempat menyatakan ketertarikan untuk masuk ke proyek ini. Bahkan disebut-sebut ada minat Investasi senilai US$ 4 miliar. Tapi hingga kini tidak ada kelanjutan atas rencana investasi Bin ladin Group tersebut. 

Dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi pada 14~15 April 2019, Pangeran Muhammad bin Salman menyatakan minat Investasi senilal US$ 6 miliar di bidang minyak dan gas serta pariwisata di Indonesia. Namun hingga kini juga belum ada kejelasan. 

King Salman and Jokowi

    Sebelumnya, dalam lawatan kenegaraan Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz Al Saud ke Indonesia pada 2017, investasi yang masuk hanya USS 6 miliar atau Rp 89 triliun. Angka ini terpaut jauh dari nilai investasi Arab Saudi ke China yang mencapai US$ 65 miliar atau Rp 870 triliun.

Kontan, Page-14, Tuesday, Jan 14, 2020

Thursday, January 16, 2020

Pertamina: Cilacap Refinery Finished in the First Quarter of 2020



The management of PT Pertamina (Persero) still expects to work on the Cilacap Refinery Development Master Plan (RDMP) project with the Saudi

Saudi Aramco

Aramco. However, the discussion process is still focused on the selection of cooperation schemes and the valuation of existing assets. 

     Pertamina's President Director Nicke Widyawati said that his party offered the option of cooperation such as the Balikpapan Refinery. Therefore, there was no need for a spin-off so that Pertamina and Saudi Aramco would build new facilities without including existing access.

Nicke Widyawati

"Cooperation with Aramco is still ongoing, now there are other options for the cooperation model. So the second cooperation model is like in Balikpapan," Nicke said.

If this scheme is implemented, Pertamina and Aramco can establish a subsidiary that will operate the refinery. Next, determine the toll fee scheme. Certainly, this cooperation scheme can be obtained in the first quarter of 2020.

"It will build a new refinery. The existing refinery will be operated, but later the scheme will be with a toll fee. Same as Balikpapan. So this will be continued and we are targeting that in the first quarter of 2020 it must be finished," explained Nicke.

Luhut Binsar Panjaitan

The option of collaborating with a scheme like this was rolled out because Pertamina and Aramco did not also find an agreement regarding asset valuation because there was still a difference in value between the two. Previously, Coordinating Minister for Maritime Affairs and Investment Luhut Binsar Panjaitan revealed the valuation calculation still left a difference in the value of around US $ 1.5 billion.

IN INDONESIA

Pertamina: Skema Kilang Cilacap Kelar Kuartal I 2020


Manajemen PT Pertamina (Persero) masih mengharapkan bisa menggarap proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Kilang Cilacap bersama Saudi
Aramco. Namun, proses pembahasan masih berkutat pada pemilihan skema kerjasama dan valuasi aset existing. 

   Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya menawarkan opsi kerjasama seperti di Kilang Balikpapan, Dengan begitu, tidak perlu spin-off sehingga Pertamina dan Saudi Aramco akan membangun fasilitas baru tanpa menyertakan akses existing. 

"Kerjasama dengan Aramco masih berlangsung, sekarang ada opsi lain dari model kerjasama. Jadi model kerjasama kedua adalah seperti di Balikpapan," kata Nicke.

Jika skema ini diterapkan, maka Pertamina dan Aramco bisa mendirikan anak usaha yang akan mengoperasikan kilang tersebut. Selanjutnya, penetapan skema toll fee. Kepastian skema kerjasama ini sudah bisa diperoleh pada kuartal I 2020. 

"Akan membangun kilang baru. Kilang existing akan dioperasikan, tapi nanti skemanya dengan toll fee. Sama seperti Balikpapan. Jadi ini yang akan dilanjutkan dan kita targetkan di kuartal satu tahun 2020 harus sudah selesai," terang Nicke.

Opsi kerjasama dengan skema seperti ini bergulir lantaran Pertamina dan Aramco tidak juga menemukan kata sepakat terkait valuasi aset lantaran masih ada selisih nilai di antara keduanya. Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan perhitungan valuasi masih menyisakan perbedaan nilai sekitar US$ 1,5 miliar.

Kontan, Page-14, Saturday, Dec 14, 2019

The Cilacap Refinery Agreement is Back Delayed



Decision making related to the continuation of the project for upgrading and upgrading the Cilacap Refinery between PT Pertamina (Persero) and Saudi Aramco is only targeted to be completed in the first quarter of 2020. Negotiations with Saudi Aramco have been going on for around three years since 2016. 

Nicke Widyawati 

    Pertamina's President Director Nicke Widyawati said cooperation with Saudi Aramco in the Cilacap Refinery Project is still ongoing. However, this time, Pertamina offers a new cooperation option where the upgrading project is managed separately from the refinery that is currently operating. The Cilacap Refinery Upgrading Project will be undertaken by a joint venture of Pertamina and Saudi Aramco.



"The target is that in the first quarter of 2020, this [cooperation decision] must be completed," he said in Jakarta.

The cooperation option in which the upgrading project and existing one is separate is also implemented by Pertamina in the Balikpapan Refinery Upgrading Project. Because it is managed by a different company, Pertamina will pay a processing fee (toll fee) if it processes the oil at a new refinery.

"We formed a subsidiary with our partner, then later this company will operate the new refinery. Then later there will be a toll fee, "explained Nicke.

The signing of a joint venture development agreement (JVDA) agreement between Pertamina and Saudi Aramco was first conducted in December 2016, two years after the appointment of Saudi Aramco as a partner in 2014. The JVDA should end in December 2018, but then be extended by six months until June 2019. Then the JVDA was extended to September, then extended a third time until October, and lastly extended until December 2019. So, by continuing to work together until the first quarter of next year, this is the fifth JVDA extended.

One thing that has become an obstacle to negotiations between Pertamina and Saudi Aramco is the valuation of the existing Cilacap Refinery assets. Even though Pertamina has conducted valuations several times. The first valuation is carried out for other purposes so that it is only used as a project estimate. Most recently, the two appointed one company to carry out this valuation.

The Cilacap refinery is targeted to start operating in 2025. After upgrading, the crude oil processing capacity of the Cilacap Refinery will increase from 348 thousand barrels per day (BPD) to 400 thousand BPD. Furthermore, there will be additional production of gasoline (gasoline) 80 thousand BPD, diesel 60 thousand BPD, and aviation fuel of 40 thousand BPD. 

    Fuel production increased significantly because the ability of refineries to process crude oil into finished products (NCI) rose from 74% to 92-98%. At present, Pertamina is ready to provide land acquisition for the Cilacap Refinery Project.

In addition, the company is also holding an auction to find a contractor working on early work or site development. The signing of the early work contract is targeted to be carried out in December.

New Partner

At the same time, Pertamina also continues to work on other refinery projects, including the Balikpapan and Dumai Refinery Upgrading Projects. According to Nicke, the oil and gas company from the United Arab Emirates will join the company is working on the two refinery projects.

Mubadala Petroleum

"Mubadala Petroleum and Adnoc [Abu Dhabi National Oil Company] are planned to have a signature. Later President Joko Widodo will go to Abu Dhabi in mid-January 2020, both for the Balikpapan and Dumai refineries. The target is, "he said.

Adnoc [Abu Dhabi National Oil Company]

For the Balikpapan Refinery, Pertamina is doing it alone. However, the company is looking for partners who are interested in funding this project (equity partner). Originally, this chosen partner will be set in December. Pertamina is also looking for partners for the Dumai Refinery Upgrading Project which is targeted to be completed in December 2019.

Not only that, but Pertamina is also considering looking for other options for partners. Previously, Pertamina had actually collaborated with Oman's oil and gas company, Overseas Oil and Gas (OOG) LLc. However, Nicke continued working on projects such as land acquisition and location determination.

Overseas Oil and Gas (OOG)

"The selection of partners can be ongoing," Nicke said.

The Balikpapan Refinery Upgrading Project has entered the construction stage. The Phase I Balikpapan refinery is targeted to be operational in June 2023. While Phase II is targeted to be completed in 2025-2026 and will be able to process high sulfur crude oil with a capacity to increase from 260 thousand BPD to 360 thousand BPD.

While the Dumai Refinery Upgrading Project will increase capacity from 140 thousand BPD to 300 thousand BPD while increasing the processing capability of crude oil with high sulfur content. The project is estimated to have an investment value of US $ 5-8 billion with an operating target in 2027. Finally, the Bontang Refinery Project is planned to have a capacity of 300 thousand BPD and operate in 2026.

IN INDONESIA

Kesepakatan Kilang Cilacap Kembali Tertunda


Pengambilan keputusan terkait kelanjutan proyek perbaikan dan peningkatan kapasitas (upgrading) Kilang Cilacap antara PT Pertamina (Persero) dan Saudi Aramco baru ditargetkan rampung pada triwulan pertama 2020. Negosiasi dengan Saudi Aramco ini sudah berlangsung selama sekitar tiga tahun sejak 2016. 

     Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menuturkan, kerja sama dengan Saudi Aramco dalam Proyek Kilang Cilacap masih berlangsung. Hanya saja, kali ini, Pertamina menawarkan opsi kerja sama baru di mana proyek upgrading dikelola terpisah dengan kilang yang sudah beroperasi saat ini. Proyek Upgrading Kilang Cilacap akan dikerjakan oleh perusahaan patungan Pertamina dan Saudi Aramco.

“Targetnya di triwulan pertama tahun 2020, ini [keputusan kerja sama] sudah harus selesai,” kata dia di Jakarta.

Opsi kerja sama di mana proyek upgrading dan yang sudah ada terpisah ini juga diterapkan Pertamina di Proyek Upgrading Kilang Balikpapan. Lantaran dikelola oleh perusahaan yang berbeda, nantinya Pertamina akan membayar biaya pengolahan (toll fee) jika mengolahkan minyaknya di kilang baru.

“Kami membentuk anak perusahaan dengan partner kami, kemudian nanti perusahaan ini yang mengoperasikan kilang baru. Maka nanti ada toll fee,” jelas Nicke.

Penandatanganan perjanjian pembentukan perusahaan patungan (join venture development agreement/JVDA) antara Pertamina dan Saudi Aramco pertama kali dilakukan pada Desember 2016, dua tahun setelah penetapan Saudi Aramco sebagai mitra pada 2014. 

     JVDA ini harusnya berakhir pada Desember tahun 2018, namun kemudian diperpanjang enam bulan hingga Juni 2019. Kemudian dilakukan perpanjangan JVDA sampai September, selanjutnya diperpanjang ketiga kalinya sampai Oktober, dan terakhir diperpanjang sampai Desember 2019. Sehingga, dengan dilanjutkan kerja sama sampai triwulan pertama tahun depan, ini kali kelima JVDA diperpanjang.

Satu hal yang menjadi kendala negosiasi antara Pertamina dan Saudi Aramco yakni valuasi aset Kilang Cilacap yang sudah ada. Padahal sudah beberapa kali Pertamina melakukan valuasi. Valuasi yang pertama dilakukan untuk keperluan lain, sehingga hanya digunakan sebagai perkiraan proyek saja. Yang terbaru, kedua menunjuk satu perusahaan untuk melakukan valuasi ini. 

Kilang Cilacap ditargetkan mulai beroperasi pada 2025. Pasca upgrading, kapasitas pengolahan minyak mentah Kilang Cilacap akan naik dari 348 ribu barel per hari (bph) menjadi 400 ribu bph. Selanjutnya, akan ada tambahan produksi bensin (gasoline) 80 ribu bph, solar 60 ribu bph, dan avtur 40 ribu bph. 

     Produksi bahan bakar naik signifikan lantaran kemampuan kilang mengolah minyak mentah menjadi produk jadi (NCI) naik dari 74% menjadi 92-98%. Saat ini, Pertamina siap menyediakan pengadaan lahan untuk Proyek Kilang Cilacap.

Selain itu, perseroan juga sedang menggelar lelang untuk mencari kontraktor yang menggarap early work atau penyiapan lokasi (site development). Penandatanganan kontrak pekerjaan early work ini ditargetkan dilakukan pada Desember nanti.

Mitra Baru

Bersamaan dengan ini, Pertamina juga meneruskan pengerjaan proyek kilang lainnya, diantaranya Proyek Upgrading Kilang Balikpapan dan Dumai. Menurut Nicke, perusahaan migas asal Uni Emirat Arab bakal bergabung dengan perseroan dalam mengerjakan dua proyek kilang tersebut.

“Mubadala Petroleum dan Adnoc [Abu Dhabi National Oil Company] rencananya akan ada tanda tangan. Nanti Presiden Joko Widodo akan ke Abu Dhabi di pertengahan Januari 2020, baik itu untuk kilang Balikpapan maupun kilang Dumai. Targetnya itu,” ujar dia.

Untuk Kilang Balikpapan, memang dikerjakan sendiri oleh Pertamina. Tetapi, perseroan memang sedang mencari mitra yang berminat ikut mendanai proyek ini (equity partner). Sedianya, mitra terpilih ini bakal ditetapkan pada Desember. Pertamina juga sedang mencari mitra untuk Proyek Upgrading Kilang Dumai yang ditargetkan rampung pada bulan Desember 2019. 

Tidak hanya itu, Pertamina juga sedang mempertimbangkan mencari opsi lain untuk mitra. Sebelumnya, Pertamina sebenarnya telah bekerja sama dengan perusahaan migas asal Oman, yakni Overseas Oil and Gas (OOG) LLc. Namun, Nicke melanjutkan pengerjaan proyek seperti pembebasan lahan dan penetapan lokasi tetap berlangsung.

“Pemilihan partner bisa sambil berlangsung,” ujar Nicke. 

Proyek Upgrading Kilang Balikpapan sudah masuk tahap konstruksi. Kilang Balikpapan Tahap I ini ditargetkan bisa mulai beroperasi pada Juni 2023. Sementara Tahap II ditargetkan selesai di 2025-2026 dan mampu mengolah minyak mentah kadar sulfur tinggi dengan kapasitas naik dari 260 ribu bph menjadi 360 ribu bph. 

Sementara Proyek Upgrading Kilang Dumai akan meningkatkan kapasitas dari 140 ribu bph menjadi 300 ribu bph, sekaligus meningkatkan kemampuan pengolahan hingga minyak mentah dengan kadar sulfur tinggi. Proyek ini diperkirakan memiliki nilai investasi US$ 5-8 miliar dengan target operasi pada 2027. Terakhir, Proyek Kilang Bontang direncanakan memiliki kapasitas 300 ribu bph dan beroperasi pada 2026.

Investor Daily, Page-9, Friday, Dec 13, 2019